Sabar : Kunci Kecerdasan Emosi

http://fcgadget.appspot.com/spec/shareit.xml

HELLO

silahkan kunjungi Blog ini... moga bisa menjadi hiburan ea...hehehe

mari qita bersahabat...hehehe
Deden saepul muhtaz. Diberdayakan oleh Blogger.

kEnaLi sAya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Apa adanya.

Pengikut

Rabu, 21 April 2010

Senandung Tahmid Persahabatan

Senja mengantar pagi menjemput


Dimatanya desa Gununghalu sore itu tampak begitu memukau, sinar mentari yang kuning keemasan menyepuh setiap permukaan sawah , sungai, dan gunung-gunung. di sekitar desa Sirnajaya tepatnya di kampung pasirlengo kecamatan Gununghalu kabupaten Bandung Barat. Semburan sinar berwarna kuning yang terpantul indah dari riakan gelombang air sawah itu menciptakan kesenangan, cinta dan kasih sayang. Diatas tanah yang seperti tepung coklat itu anak-anak kecil masih asyik bermain kejar-kejaran dan ada pula yang bermain kucing-kucingan, engklek, dan lain sebagainya. Ada juga anak-anak perempuan yang bermain kue-kuehan dari tanah. Di tangan anak-anak itu tanah merah kecoklatan yang telah kering tanpa sentuhan hujan berminggu-minggu itu seolah kue bolu yang siap untuk dinikmati bersama keluarga.
Dari beberapa rumah warga di sekitar kampung Pasir Lengo terdengar suara-suara keras sang ibu yang memarahi anaknya ”enggal atuh gera ibak sakedap deui Maghrib” karena belum mandi ketika waktu maghrib hampir tiba dan anak-anaknya harus segera pergi kemesjid untuk salat berjama’ah dan mengaji pada Ustadz, atau kiyai yang siap mengajari mereka sampai waktu isya tiba. Di antara anak-anak yang bermain itu ada beberapa anak perempuan yang telah membawa Al-Qur’an, dan tas kecil yang berisi mukena atau alat salat seperti sarung,danada juga beberapa anak lelaki yang sudah mengkalungkan sarung mereka.
Salah satu kebiasaan anak-anak di kampung itu,setiap waktu maghrib telah tiba mereka akan segera memasukiMesjid untuk salat berjama’ah dan mengaji bersama pada seorang Kiyai atau Ustadz. Sehingga tidaklah heran jika anak-anak yang baru saja berusia enamtahun sudah lancar melafalkan Al-Qur’an meskipun Tajwidnya masih salah penempatan.
Suasana senja di halaman mesjid rupanya lebih menarik hati mereka daripada berdiam di mesjid sambil menanti adzan maghrib berkumandang. Saat itu dalam hati mereka yang ada hanya rasa senang dan bahagia, tanpa mereka berpikir pahala yang bisa mereka raih karena diam dan beri’tikaf di mesjid. Pikiran polos mereka yang masih belum terkontaminasi dengan pikiran-pikiran yang kelak harus juga bersarang di otak mereka ketika mereka mulai beranjak remaja, bahkan dewasa.semilir angin mengantarkan kesejukan. Suara adzan maghrib benar-benar terasa seumpama nyanyian yang mereka nikmati dan seolah mereka mengerti artinya. ketika adzan maghrib berkumandang mereka mulai mengantri memadati jamban, dan tempat wudlu di sekitar mesjid di kampung mereka. Warga mulai menutup jendela-jendela karena malam telah tiba.
Yang membuat desa itu begitu menakjubkan bukan semata-mata karena tanahnya yang berwarna merah dan memudar seumpama tepung. Akan tetapi, lebih dari pada itu yang membuat desa itu terasa menakjubkan adalah karena musim kemarau sedang bertamu kepadanya. Mentari pemberi kebahagiaan sedang bersinar indah di sana. Padi-padi yang baru beberapa hari ditanam menebarkan keindahannya. Pujian-pujian yang dilagukan anak-anak kecil sebelum melaksanakan salat maghrib.
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu kuning sederhana dan ada juga beberapa lampu neon di setiap rumah dan halaman rumah warga menyala serentak bersamaan datangnya malam. Desa Gununghalu mulai memperlihatkan keluguannya dikala malam tiba, desa itu terasa sepi dan hening. hanya suara sayup-sayup anak-anak mengaji di setiap mesjid besar di desa tersebut dan suara kodok dan jangkrik menambah kesunyian di desa itu. Ia mulai bergegas untuk salat di mesjid yang jaraknya tak jauh dari rumahnya. ia bersama teman-teman seusianya dan para warga kampung pasirlengo mulai berdiri tegap sesaat sesudah iqomah di kumandangkan oleh seorang santri yang adzan tadi.
Kegelapan malam membawanya kedalam perasaan yang begitu damai dan sejuk. Seusai salat isya, salat sunnat ba’diyah isya, dan witir. Dia bergegas pulang kerumah bibinya yang sudah dia anggap sebagai rumahnya, karena semenjak bibinya menikah tujuh tahun lalu ia tinggal di rumah itu bersama bibinya yang sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri setelah sebelumnya ia tinggal di rumah neneknya semenjak usianya dua tahun. Rumah yang ia anggap seperti istana mungil yang sederhana itu telah memberinya banyak pelajaran hidup dan kasih sayang yang berlimpah yang diberikan oleh semua orang yang berada disekitarnya yang mencintai dia dengan penuh keikhlasan.dan dirumah sederhana itu juga ia mengerjakan tugas-tugas sekolahnya setiap malam tiba. Tidak pernah lebih dari jam sembilan malam ia selesai mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, dan ia pun bangun tak pernah lebih dari subuh.
Langit dinihari diatas sana selalu membuatnya terpesona. Bintang yang berkedip tampak di matanya seumpama mata jutaan malaikat yang menyaksikan penghuni bumi. Dan bulan begitu lembut menciptakan kedamaian di hati setiap hamba yang mau bertadabur atasnya. Ia tak ingin melewatkan indahnya malam. Ditemani jutaan bintang di langit dan disaksikan cahaya bulan ia berdiri diatas sejadah mengahadap kiblat melaksanakan sunnah Rasulullah saw. Salat malam yang ia lakukan lima belas menit sebelum tibanya waktu subuh kerap ia lakukan setiap malam. Dan sampai adzan berkumandang dimesjid-mesjid di sekitar kampungnya ia melantunkan ayat-ayat pendek sambil menghapalnya.
Dilangit sana ada jutaan malaikat yang mendo’akan setiap hamba yang tidak lalai. Penghuni bumi yang mau bangun malam mengurangi waktu tidurnya dan bertahajjud disaat manusia lain lalai tertidur pulas dengan selimut tebal membungkusnya. dan ketika sang fajar yang datang dengan kemerahan dari sebelah timur ia bertasbih dan hatinya bergetar tatkala bibirnya mengucapkan lafadz-lafadz tasbih,Tahmid atas segala nikmat yang masih ia terima dari sang penguasa alam Allah SWT. Dan saat sang fajar merekah menyinari bumi nuansa yang ia rasakan tak pernah sama. Selalu ada nuansa baru yang mengajaknya menciptakan hal yang lebih baik dari hari sebelumnya. Rasanya takkan pernah ada seorang pujangga yang mampu melukiskan indahnya panorama keindahan fajar dengan bahasa seindah apapun yang sering ia tulis dalam puisinya. Tak kan ada seniman yang mampu menggambarkan indahnya panorama alam di pagi hari saat sang mentarimulai membelai setiap jiwa.
Irwan berdiri tegap tepat di jendela yang ia buka lebar-lebar sejak tadi. Ia pandangi keindahan langit dan bumi seraya bibirnya bertasbih di ikuti hatinya memuji tuhannya yang begitu adil memberinya kebahagiaan di setiapharinya meski hidupnya sederhana. Ia memerhatikan alam sekitarnya yang sangat indah dan sejuk. Mentari kampung pasirlengo membuat Qolbunya bergetar. Dengan penghayatan yang dalam ia hirup udara yang khas dengan penuh rasa syukur atas nikmat Allah SWT.
Di kejauhan tampak beberapa warga desa ada yang mulai membawa keranjang carangka, dan dingkul dengan pundak atau kepalanya. Terlihat ada segerombolan ibu-ibu yang membawa bibit padi yang baru berukuran limabelas senti meter kedalam dingkul yang mereka bawa di atas kepala mereka. Dan mereka mulai turun ke sawah dan menanamnya bersama-sama. Dan terlihat juga beberapa anak-anak kecil ada yang mulai berangkat kesekolahnya. Dengan tawa yang menyertai setiaplangkah mereka terlihat begitu menikmati indahnya setiap pagi dengan senyum dan tawa ke sederhanaan. Begitupun dengan Irwan yang pagi itu masih bersiap-siap mengenakan celana panjang berwarna biru dongker dengan di padu kemeja putih yang di tempelkan di beberapa bagian di atas kemeja tersebut beberapa atribut sekolahnya seperti nama lengkapnya, lokasi sekolahnya, dan logo OSIS khas DEPAG karena sekolahnya di bawah naungan yayasan pesantren. Ia bersiap untuk pergi ke sekolahnya yang terletak cukup jauh dari rumahnya. Sekolahnya terletak di desa sebelah, sehingga ia dan teman-temannya harus berangkat sangat pagi supaya tidakterlambat sampai ke sekolah.
Sinar mentari pagi mengantarnya pergi ke sekolah. Dia beserta temannya berangkat bersama-sama menapaki setiap jalan yang terhampar tanpa menggunakan kendaraan jenis apapun. Mereka harus berjalan melewati beberapa kampung untuk bisa sampai ke sekolahnya. Setiap pagi dia menikmati perjalanannya supaya tidak terasa membosankan sambil bersenda gurau, atau juga sambil tebak-tebakan dengan soal pelajaran yang telah mereka pelajari sebelumnya. Kesepian tak pernah terjadi dalam perjalanan mereka menuju peraduan.
Meskipun jauh dari rumah. Tetapi tak pernah mereka terlambat masuk kelas. Jarak yang lumayan jauh tak menyurutkan semangat mereka menimba ilmu di SLTP AL-FATAH. Bahkan mereka sangat merasa beruntung bisa bersekolah di sekolah yang penuh dengan nuansa keislaman yang kental. Banyak teman-teman seusianya yang hanya tamat SD saja dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena persoalan biaya yang menjadi penghalang yang harus menyurutkan cita-cita mereka. Memang ada Beberapa orangtua yang mulai membuka mata akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka di masa depan.termasuk orang tua Irwan adalah sebagian dari orangtua yang modern yang mampu berpikir tentang pentingnya pendidikan untuk kehidupan di masa yang akan datang. Meskipun sederhana namun orang tua Irwan yakin betul dengan rizki yang tuhan berikan untuk setiap langkah kehidupan manusia. Dengan berbekal tawakal, usaha dan keyakinan, ayah Irwan menyekolahkannya. Ayahnya yakin jika Irwan mampu membuat semua orang di kampungnya bangga atas dirinya, ayahnya pun yakin jika Irwan memang pantas dan mampu untuk menimba ilmu di sekolah tingkat menengah bahkan di tingkat perguruan tinggi.
Harapan orang tua Irwan memang sangat besar akan keberhasilan anak-anaknya. Kakak kedua Irwan yang kini sudah duduk di universitas negeri membuat kedua orang tuanya bangga atas prestasi kakaknya yang selalu menduduki peringkat kelas pertama sejak SD. Irwan pun tak ingin kalah dengan apa yang telah di dapatkan kakanya hari ini, ia ingin lebih baik dari kakaknya. Maka meskipun jauh letak sekolahnya, namun ia sangat yakin dan bersemangat untuk bisa menjadi lebih baik dari kakaknya.



* * *
















Dalam do’a ada harapan


Suara lonceng yang dipukul petugas piket sekolah mulai menyusup telinga para siswa/i. Mereka mulai berlari dan berdesakan di bibir pintu. Mereka tak ingin terlambat sedikitpun karena akibatnya mereka yang terlambat akan mendapatkan hukuman atas keterlambatannya.
Suasana kelas yang sepi dan hanya ada suara sang pengajar yang membuat beberapa siswa yang juga menetap di pesantren AL-FATAH tak kuat menahan kantuk yang menyerang mereka. Setiap kali ada siswa/i yang tertidur dikelas, biasanya setiap guru akan meneriakinya dengan teriakan yang khas, keras, dan mengagetkan sehingga mereka akan terbangun dengan tiba-tiba ”ayo bagun..! woy bangun...!”. Tak jarang mereka yang tertidur dikelas menjadi bahan tertawaan seluruh penghuni kelas. Termasuk Irwan. Semua terbahak atas kejadian siang itu.
Semangat dalam belajar selalu Irwan tunjukan dengan selalu ingin lebih tahu dengan apa yang ia pelajari. Pertanyaan tak pernah sulit keluar dari bibirnya. Setiap guru yang masuk ke kelasnya dan mengajar selalu ia suguhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang membuat teman-teman dan guru-gurunya tercengang karenanya.
Sepuluh menit sebelum kumandang adzan dzuhur di kumandangkan di mesjid sekolahnya. Pelajaran di dalam kelas harus sudah di hentikan. Itulah salah satu peraturan sekolahnya yang harus di patuhi seluruh penduduk sekolah. Semua berhamburan keluar kelas sesaat setelah ibu guru menyudahi pelajarannya siang itu.
Para siswa/i mulai mengantri untuk mengambil wudlu di tempat yang disediakan di depan mesjid sekolah. Tak pernah sepi dari gelak tawa, setiap peristiwa di sekolah selalu mereka isi dengan canda tawa, begitupun saat mereka harus mengantri giliran untuk berwudlu. Sebelum adzan berkumandang siswa/i yang telah selesai berwudlu dan telah berada di mesjid, biasanya mereka menanti datangnya kumandang adzan dengan terlebih dahulu melakukan salat sunnah tahiyyatul masjid dan membaca Al-qur’an. Begitupun Irwan yang tak pernah melewatkan waktu ketika berada di mesjid untuk membaca al-qur’an terlebih dahulu sebelum melaksanakan salat pardhu. Adzan dzuhur telah berkumandang, beberapa saat mereka menyudahi pembacaan ayat Al-Qur’an untuk kemudian melaksanakn salat sunnat Qobliah dan beberapa saat setelah adzan pak kiyai H.Aceng Royani datang bersama wibawanya yang membuat para siswa/i segan terhadap beliau. Seusai pak kiyai melakukan salat sunnah Qobliah dzuhur, santri yang adzan tadi mengumandangkan iqomah. Dan serentak seluruh warga sekolah dan pesantren berdiri diatas karpet yang bermotip sejadah dengan tegak dan serentak semua makmum mengikuti takbir yang telah pak kiayi baca sebagai rukun salat. Semua tertunduk dan terlena dalam kekhusukan salat.
Seusai salat dzuhur dan sunnah ba’diah Irwan tak lekas keluar dari mesjid dan masuk kelas kembali untuk mengikuti sisa pelajaran yang harus ia selesaikan hari itu. Dia berdo’a dengan penuh kekhusuan. Dalam do’anya ia meminta ampunan dosa untuk kedua orangtuanya, dirinya, dan orang-orang yang ia sayangi dan menyayanginya. Di dalam do’anya ia juga meminta kepada Allah semoga ia bisa melanjutkan sekolahnya ke sekolah menengah atas yang bertarap negeri. Dalam do’anya ia menyimpan harapan yang mendalam semoga apa yang ia pinta kepada Allah juga diridhoi oleh kedua orang tuanya.
Matahari siang itu baginya adalah sinar harapan yang harus ia hadapi walaupun sangat panas dan penuh perjuangan untuk menghadapinya. Kakinya melangkah perlahan pulang menuju rumah. Bersama tiga teman perempuannya Irwan melangkah sambil bercanda dan tertawa. Hingga kakinya tak pernah merasa letih melalui jauhnya perjalanan yang harus ia dan teman-temannya jalani. Di tengah-tengah perjalanan teman-temannya mulai berkurang karena letak rumah mereka cukup berjauhan dan rumah Irwanlah yang paling jauh dibandingkan ketiga temannya.
Tepat ashar tiba. Irwan tiba di rumah dengan tubuh yang sangat lelah dan letih. Sebelum ia salat Ashar dan makan. Terlebih dahulu ia mandi supaya tubuhnya terasa lebih segar dan semangat lagi menjalani sisa harinya hari ini. seperti biasa seusai menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang baik yaitu salat ashar dan makan. Ia kembali menikmati senja yang kala itu berpadu dengan gumpalan awan yang sudah siap menyemburkan hujan.
Tatkala hujan turun. Irwan termenung di atas kursi kayu yang ber jok anyaman rotan yang berwarna kuning yang selalu menjadi tempatnya duduk melamun dikala ia sedang sendirian di dalam kamar. Ia tiba-tiba teringat masa-masa ia sekolah dasar sekitar tiga tahun lalu bersama Azizah, dan taufik. Kedua sahabatnya yang selama SD tak pernah terpisahkan kemanapun mereka pergi. Ketika pulang sekolah dan langit menurunkan air hujan mereka bertiga sangat menikmati hujan yang turun dengan berlari-lari ditengah hujan. meskipun mereka tahu, ketika mereka sampai rumah masing-masing pasti mereka akan kena marah oleh orang tuanya masing-masing. Tapi itulah hal yang sangat berharga saat sesuatu yang kita inginkan dan telah kita lakukan orang lain hanya bisa mencaci tanpa tahu betapa nikmatnya masa kecil yang tak kan mungkin mereka ulangi.
Airmata Irwan menetes. Ia begitu sedih karena persahabatan itu kini telah sirna. Dan hanya tinggal kenangan di hati yang masih tersisa. Azizah tak melanjutkan sekolah ke SMP karena persoalan biaya yang kurang mendukung, dan karena nenek dan kakek yang mengurusnya berpikir bahwa masa depan seorang perempuan hanya kembali ke dapur, kasur, dan sumur. Kebanyakan orang-orang di kampung itu tak pernah memikirkan masa depan anak perempuan yang sebenarnya bisa lebih menjanjikan daripada seorang anak laki-laki. Maka tak ada alasan bagi Azizah dan anak perempuan lainnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi apalagi sampai sarjana atau propesor. Alasan kultural yang begitu mengikat anak-anak perempuan untuk tidak melanjutkan sekolahnya setelah tamat SD. Cukup bisa membaca, dan berhitung saja bagi mereka anak-anak perempuan itu sudah bisa dikatakan cukup untuk bisa bergelut di masa depan yang dalam pikiran mereka masa depan seorang perempuan akan di tentukan oleh seorang laki-laki yang menjadi suaminya. Jadi setinggi apapun seorang perempuan sekolah toh nantinya ia tak akan jadi apa-apa.
Taufik, meskipun ia melanjutkan sekolah ke SMP yang sama dengan Irwan. Namun saat ini pergaulannya tak lagi sama dengan Irwan yang masih begitu kuat memegang ajaran-ajaran yang di ajarkan ayahnya yang juga mengajar ngaji dirinya, taufik, dan anak-anak lain di kampungnya. Taufik juga selain telah berbeda pergaulan, ia juga berpindah rumah kekampung sebelah. Sehingga frekuensi pertemuan irwan dan taufik sangat jarang di luar jam sekolah.
Di sekolahnya, seoarang Irwan cenderung pendiam dan seringkali menjadi bahan ejekan teman-temannya karena ia lebih banyak bergaul dengan temannya yang perempuan di bandingkan dengan teman-temannya yang laki-laki. Seringkali teman-temannya mengejek ia dengan panggilan banci atau apalah. Selain itu karena Irwan juga cukup pintar dan kompeten di banding teman-temannya. Maka wajar lah bila teman-temannya banyak yang iri padanya. Namun Irwan juga punya sahabt-sahabat lelaki yang setia dan mau menghiburnya setiap saat. Mereka adalah Nanang, Hamid, Agus, Jajang, dan Zezen. Mereka bersahabat sejak awal masuk sekolah itu.
Tetesan hujan yang begitu indah dan teratur membuatnya terbawa jauh kedalam dunia masa lalu yang sangat ia rindukan. tiba-tiba lamunanya buyar sesaat ketika telinganya mendengar suara bibinya memanggil namanya.
”Irwan...!” bibinya memanggil
”Ia bi, sebentar...” sahutnya.sambil melangkah menuju sumber suara memanggilnya.
”tolong ini lanjutkan menggoreng opak. Bibi mau mencuci beras dulu.”
”iya bi...!” sambil mengambil gagang penggoreng yang sejak tadi di pegang bibinya.

Salah satu kebiasaannya yaitu yang tak pernah menolak untuk membantu siapapun yang bisa ia bantu. Dalam keadaan apapun dia akan meninggalkan pekerjaannya yang bisa di tunda hanya untuk membantu orang lain. Sesosok Irwan adalah seorang yang tak pernah memiliki sifat sombong, atau merendahkan orang lain siapapun itu. Dan dia adalah anak yang sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain sebesar apapun itu asal orang tersebut mau mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf padanya. Sifat seperti itu ia miliki sejak ia lahir. Karena ia selalu berharap dan berdoa apabila ia punya salah kepada orang lain maka orang lainpun akan memaafkannya dengan mudah.
Hari sudah hampir maghrib. Sang senja sudah mulai turun dan sinarnya akan segera digantikan bulan yang anggun. Sesudah berwudlu dan bersiap untuk ke mesjid dengan sarung kotak-kotaknya yang berwarna hijau tua dan di balut baju koko putih dengan motip ukiran di sekitar dada, Irwan segera meletakan kakinya diatas sandal jepit putih bertali biru dan segera melangkahkan kakinya menuju ke arah dimana bangunan mesjid berdiri kokoh. Kaki kanannya ia langkahkan terlebih dahulu. Ia ingat dengan kata-kata ayahnya yang selalu terngiang di telinganya.

”ingat langkahkanlah kakimu yang kanan terlebih dahulu apabila kamu akan memulai atau pergi ke suatu tempat yang baik” kata-kata ayahnya kepada semua santrinya saat pengajian.

Seusai mengaji dan salat isya, seperti biasa ia selalu membaca apa yang telah ia pelajari siang harinya di sekolah dan membaca apa yang akan ia pelajari esok harinya di sekolah. Kali ini tidak seperti biasanya ia belajar lebih dari jam sembilan malam. Ia mulai hari ini menambah frekuensi belajarnya karena tidak lebih dari sebulan lagi ujian nasional (UN) akan di selenggarakan di sekolah-sekolah setingkat SMP. Tak terkecuali di sekolahnya. Sebagai salah seorang siswa kelas tiga sekolah menengah pertama ia sangat ingin nilai hasil ujiannya nanti sangat memuaskan dirinya dan keluarganya. Selain itu ia juga sangat ingi bisa masuk ke SMAN yang cukup terkenal di desanya yaitu SMAN 1 Gununghalu yang menjadi impiannya sejak ia baru masuk SMP. Ia saat itu berpikir jika sekolah di sebuah SMA yang bertarap negeri maka suatu hari nanti apapun cita-citanya akan mudah untuk terwujud karena alasan kenegeriannya.



* * *










Pagi yang mendebarkan


Tak seperti biasanya. Hari ini adalah hari yang sangat menentukan masa depannya, karena hari ini adalah hari yang sejak sebulan lalu ia perjuangkan. Ujian nasional beberapa jam lagi akan ia hadapi beserta kawan-kawannya. Ia sungguh masih belum percaya bahwa hari ini ia harus menghadapi ujian nasional yang pertama kalinya. Karena saat ia akan lulu SD namanya bukan ujian nasional tapi Ebtanas. Waktu begitu cepat ia rasakan. Sembilan tahun yang lalu ia tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi hari ini. Sembilan tahun yang lalu ia hanya belajar menulis angka dan huruf-huruf bersama ayahnya sebelum mendaftar ke sekolah dasar tanpa membayangkan hari ini ia akan menghadapi hari yang sangat membuat jantungnya berdebar kencang sekencang-kencangnya.
Setelah ia dengar suara lonceng berbunyi. Ia segera masuk ke kelas yang telah tersusun rapi berjajar lima beserta nama masing-masing siswa/i sesuai nomor urut. Salah seorang dari siswa memimpin do’a sebelum ujian di mulai. Seusai berdo’a Irwan berusaha menguasai dirinya dengan menarik nafas dalam-dalam dan sesekali ia memposisikan posisi duduknya senyaman mungkin sebelum soal ujian di bagikan oleh guru pengawas dari sekolah lain.
Ujian nasional telah usai. Irwan dan kawan-kawannya tinggal menunggu hasil kelulusan yang akan di umumkan di sekolah dua bulan mendatang. Irwan begitu lega karena telah menyelesaikan ujiannya dari hari pertama hingga hari ke empat meskipun di hari pertama ia belum begitu menguasai suasana hatinya yang merasa kaget dengan apa yang di hadapinya saat itu. Ternyata ujian nasional tak sesulit seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Selama kurang lebih dua bulan ia menantikan hasil ujiannya akhirnya beberapa saat lagi ia akan segera mengetahui hasil dari usahanya selama ini. selama penantian menunggu hasil ujiannya keluar, Irwan lebih banyak membantu nenek, kakek, dan bibinya menjemur padi dan mengurusi sawah daripada ia bermain keluar bersama teman-teman sebayanya. Hasil ujiannya sangat memuaskan. Bahkan hasil ujian mata pelajaran bahasa Indonesia ia mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya. Semua siswa/i yang berjumlah tidak lebih dari empat puluh orang itu akhirnya berteriak histeris mengucap syukur kehadirat Illahi Rabby karena semuanya dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Dan pihak sekolah memberitahukan bahwa seminggu setelah kelulusan akan di adakan syukuran sekaligus perpisahan kelas tiga dan kenaikan kelas satu dan dua.
Pagi yang tak kalah mendebarkan dibandingkan ketika ia akan menghadapi ujian nasional. Pagi itu Irwan akan benar-benar berpisah dengan sahabat-sahabatnya yuang selama ini begitu membuatnya merasakan kebahagiaan yang begitu mendalam dan selama ini ia begitu menghayati kehidupan bersahabat dan berkonflik di sekolah yang beberapa jam lagi akan ia tinggalkan mungkin untuk selamanya. Acara demi acara, sambutan demi sambutan ia dengar begitu membuat hatinya bergetar dan matanya mengalirkan airmata yang tak sanggup lagi ia bendung karena semua yang ia jalani hari ini adalah penutup kisah-kisahnya bersama sahabat-sahabatnya untuk selamanya. Seusai acara perpisahan berakhir Irwan dan teman-teannya beserta guru-gurunya bermushofahah dan saling meminta maaf satu samalain.
Di tengah malam yang sangat gelap tanpa satupun bintang menemaninya ia membayangkan betapa sepinya hari-harinya yang akan datang tanpa suara riuh canda tawa teman-temannya di sekolah. Kejadian tadi siang yang begitu menguras airmatanya masih belum ia percayai. Ia berharap saat matanya terbuka dan terbangun dari tidurnya esok hari, kejadiaan tadi siang tak pernah terjadi.
Beberapa minggu setelah hari perpisahan telah berlalu. Kini kesepian sudah mulai ia nikmati. Ia masih belum mendaftar ke SMA manapun. Padahal teman-temannya banyak yang sudah daftar di madrasah aliyah Al-fatah dan SMAN 1 Gununghalu. Ia sudah membicarakan hal itu kepada bibi, mamang, nenek ,kakek, bahkan kedua orang tuanya. Tapi tak satupun dari mereka yang mendukung keputusannya untuk melanjutkan di SMAN 1 Gununghalu yang selama ini ia idam-idamkan.
Namun ketika semua orang di rumahnya menentang keputusannya, tiba-tiba kakaknya yang bernama Doni yang sedang menimba ilmu di universitas negeri di Bandung, pulang kerumah ayahnya dan mengusulkan irwan untuk melanjutkan sekolah di MA Al-falah Nagreg sambil mengkaji ilmu agama di pesantren Al-falah karena alasan pesantren tersebut sangat baik dalam pengkajian ilmu Qiro’at. Namun usulan kakaknya kurang di setujui oleh ayahnya yang tetap ingin Irwan melanjutkan sekolah di MA Albidayah Cangkorah yang terletak di desa Giriasih kecamatan Batujajar kabupaten Bandung Barat sambil mesantren di pesantren Albidayah yang juga merupakan yayasan yang menaungi MA,SMA, dan MTs Albidayah.
Tanpa berpikir panjang dan ragu-ragu dengan pilihan ayahnya, akhirnya Irwan menuruti permintaan ayahnya untuk melanjutkan sekolah dan mesantren di Albidayah. Hari Rabu pagi ketika ia sedang asyik menonton acara TV paforitnya tiba-tiba telinganya mendengar suara ayahnya yang memanggil-manggil namanya. Tanpa berpikir panjang ia segera bangun dari tempat duduknya di atas kasur di ruang tamu untuk segera menemui ayahnya.
”Wan yuk berangkat...!” ajak ayahnya tanpa basa-basi.
”berangkat...? kemana?” tanya Irwan dengan penuh rasa penasaran menyelinap kedalam hatinya.
”ke Albidayah untuk daftar lah...!”
”apa harus sekarang pak?”
”memangnya mau kapanlagi? Kurang dari dua minggu lagi semua sekolah setingkat SMA kan harus sudah memulai kegiatan orentasinya. Begitupun dengan MA Albidayah” jawab ayahnya menjelaskan.
”iya...!” sahutnya pendek.
”bapak tunggu lima belas menit di rumah”
Lima belas menit ia di beri waktu oleh ayahnya untuk bersiap-siap, dan sebelum lima belas menit berlalu Irwan telah selesai bersiap-siap dan segera melangkah menuju rumah ayahnya. Saat sampai di halaman rumah, ia langsung melihat ayahnya yang sudah siap berangkat dengan helmnya dan telah menyalakan mesin motor bebeknya sebelum ia datang. Ia langsung duduk di jok belakng ayahnya dan segera ia memakai helm setelah terlebih dahulu menyalami ibunya. Dengan segera ayahnya langsung mengendarai motornya sambil mengucap ”Assalamu’alaikum” kepada ibunya yang berdiri di teras halaman rumah menyaksikan keberangkatan kami berdua.
Perjalanan yang lumayan jauh dan melewati beberapa kecamatan membuat Irwan sesekali tertidur di tengah perjalanan. Hingga sekitar jam sepuluh tiba Irwan dan ayahnya telah sampai di pesantren Albidayah yang begitu asing baginya, namun tidak bagi ayahnya karena hampir setiap malam sabtu kliwon ayahnya selalu pergi ke pesantren tersebut untuk mengikuti wirid yang di pimpin langsung oleh pimpinan pondok pesantren tersebut. Itulah sebagian alasan mengapa ayahnya memasukan Irwan ke pesantren tersebut supaya sebulan sekali ayahnya bisa menjenguknya.
Saat tiba di pesantren, ia beserta ayahnya segera masuk keruangan di bawah tangga yang telah terlihat dari luar bertuliskan ”TEMPAT PENDAFTARAN” . ayahnya mengucapkan salam dan pengurus pesantren yang mengurusi pendaftaran di dalam menjawabnya sambil mempersilahkan mereka berdua masuk. Dengan sedikit basa-basi ayahnya bertanya sedikit tentang pesantren tersebut. Dan dengan penuh keyakinan kakak pengurus itu menjelaskan sedikit peraturan dan sejarah pesantren tersebut.
”begini pak, di pesantren ini semua santri/santriyahnya wajib bersekolah MA, SMA, atau MTs. Tidak ada satupun santri/santriyahnya yang hanya pesanteren saja. dan peraturan di MA dan MTs juga mewajibkan setiap siswa/i nya untuk mondok di pesantren Albidayah karena supaya terkontrol dengan baik oleh pengelola pesantren maupun MA dan MTs.”
”oh, begitu ya? Baguslah kalau begitu...!” puji ayahnya.
Setelah selesai ayahnya bertanya-tanya dan mendaftarkan Irwan di pesantren, ayahnya bertanya lagi kepada kakak petugas itu dimana tempat dan letak madrasah aliyahnya dan kapan Irwan harus mulai tinggal di pesantren?. Kakak petugas tadi menyuruh Irwan datang esok harinya dan langsung tinggal di pesantren, namun ayahnya menawar bagaimana kalau hari sabtu saja Irwan mulai tinggal di pesantren karena alasan belum persiapan. Dan setelah itu kakak tadi mempersilahkan dan langsung menyuruh temannya untuk mengantar Irwan dan ayahnya melihat-lihat dan mendaftar ke MA Albidayah yang letaknya tak jauh dari letak pesantren, dan hanya cukup berjalan sekitar dua puluh meter saja.
Sampailah ke sebuah gedung sekolah yang berdiri kokoh dan tampak masih baru dan bersih. Sekolah tersebut terdiri dari dua lantai dan ada dua belas ruangan yang terdiri dari ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang seni, dan kantor. Ia menatap dalam-dalam setiap sudut yang ia lihat sambil menghapalnya satu persatu. Seusai mendaftar dan melihat-lihat di Madrasah aliyah tersebut tiba-tiba ketika baru dua langkah Irwan dan ayahnya keluar dari gerbang MA gema adzan dzuhur menyambut mereka. Segera ia adan ayahnya melangkah kan kaki ke tempat wudlu di mesjid yang berada di dalam pesantren dan masuk mesjid kemudian melakukan salat sunnah kobliyah dzuhur.
Iqomah telah di kumandangkan. Segera seluruh mekmum membereskan shafnya dan sang imam menengok ke arah kanan dan kiri untuk mengecek kesiapan makmumnya. Sang imam menghadap kiblat lalu mengucapkan takbiratul ihram di ikuti seluruh makmumnya. Irwan dan makmum lainnya di belakang imam menunduk khusu’. Selesai salat, dzikir dan berdo’a Irwan mencium tangan ayahnya.
Ia dan ayahnya bangkit dan segera melangklahkan kaki mereka keluar dari mesjid kemudian menuju motor yang di parkir ayahnya di tepi jalan depan pesantren. Ia dan ayahnya memakai helm lalu kemudian ayahnya menyalakan mesin motornya dan segera melaju pulang menuju rumah kembali untuk mempersiapkan keberangkatannya sabtu yang akan datang. Sepanjang perjalanan ia tampak begitu senang karena tak lama lagi ia akan menjadi seorang santri, tapi ia juga amat sangat takut karena ia tak yakin ia akan betah tinggal di pesantren dengan se abreg peraturan dan kegiatannya.
Mentari pagi telah menampakkan sinarnya yang indah dan menghangatkan setiap orang yang berada di bawahnya. Indahnya mentari hari sabtu itu begitu ia rasakan berbeda karena hari itu adalah hari yang sangat ia tunggu sejak tiga hari lalu saat ia baru mendaftar di pesantren dan MA Albidayah.



* * *



Airmata persahabatan



Siang itu hatinya bergetar hebat. Bibirnya tak mampu berucap sepatah katapun, ayahnya memperkenalkan Irwan kepada seluruh santri baru yang berada di kobong enam yang terletak di lantai dasar yang terlebih dahulu datang daripadanya. Setelah memperkenalkan Irwan dan menitipkannya kepada pihak pesantren, ayahnya pulang dan Irwan di tinggalkan bersama teman-teman barunya di sebuah kamar yang berukuran kurang lebih tiga meter kali enam meter.kamar itu akan di isi oleh sekitar kurang lebih dua belas orang santri.
jam dinding di aula pesantren telah menunjukan waktu adzan dzuhur, dan sesaat lagi kumandang adzan akan segera bergema di pesantren tersebut. Tanpa menunggu lama akhirnya gema adzan dzuhur telah di kumandangkan di mesjid pesantren dan di ikuti oleh mesjid-mesjid yang berada di sekitar pesantren. Segera ia dan kawan-kawan barunya mebuka lemari baru yang mereka bawa masing-masing untuk mengambil sebuah sarung, baju koko,dan sebuah peci yang berwarna putih untuk salat dzuhur berjamaah di mesjid bersama para guru dan santri pesantren.
Irwan memejamkan matanya seraya berdoa seusai salat berjamaah. Dalam do’anya ia meminta kepada Allah semoga ia bisa betah tinggal di pesantren itu dan segera ia bisa mendapatkan sahabat-sahabat yang lebih baik daripada sahabat yang ia dapatkan saat ia masih SD, dan SMP dulu. Seusai solat ia dan kawan-kawan barunya bercengkrama, bercanda dan makan, makanan yang ia bawa dari rumahnya. Mereka tampak begitu senag meskipun mereka baru mengenal satu sama lain. Dan ada beberapa anak yang sudah saling mengenal karena berasal dari daerah yang sama atau bahkan saudara. Irwan menatap dengan penuh ketelitian dan ia hapal dengan benar-benar wajah teman-teman barunya sambil menghapalkan namanya.
Abdul Rahman yang paling ia hapal saat itu karena tadi yang bersamanya pergi kemesjid dan memberi tahunya tentang peraturan yang telah di sampaikan pengurus pesantren kepada seluruh santri baru sebelum dirinya datang. Pemuda yang usianya lebih tua tiga tahun darinya itu adalah seorang santri baru yang berasal dari kota Bogor yang semula putus sekolah karena masalah biaya sehingga ia harus menganggur selama tiga tahun di rumahnya sampai saat itu kemudian ia memutuskan untuk kembali melanjutkan sekolah dan pesantren di MA Albidayah bersama keponakannya yang juga lebih tua dua tahun dari Irwan.
Kebanyakan Santri dan santriyah adalah pendatang dari kota-kota dan kampung-kampung di sekitar Jawa Barat. Mereka tak hanya datang dari Bandung Barat saja melainkan juga datang dari berbagai kota dan pelosok seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Banten, Cimahi, jawa tengah dan lain sebagainya.
Dendi adalah keponakan Abdul Rahman yang sama-sama berasal dari kota Bogor juga. Selain Abdul Rahman dan Dendi, Irwan juga sudah hampir hapal semua santri baru yang sekamar dengannya antara lain adalah Yudi, Yosef, Mukti, Rafi, Hadi, Rendi, dan Randy. Mereka adalah teman-teman baru Irwan yang akan menjadi sahabatnya mulai hari itu. Namun selain santri baru di kobong tersebut ia di kenalkan dengan seorang kakak kelas yang telah memasuki kelas sebelas yang bernama kang Ega. Salah satu kewajiban di pesantren itu adalah setiap adik kelas harus memanggil kakak kelasnya dengan panggilan akang atau teteh.
Maghrig hampir tiba. Hampir seluruh kakak-kakak pengurus pesantren masih sibik karena belum selesai mempersiapkan pembukaaan masa Taaruf santri dan santriyah yang akan di laksanakan seusai salat isya malam ini. kakak pengurus sebagaian ada yang menggedor-gedor kobong untuk menyuruh seluruh santri yang baru untuk segera bersiap melakukan salat maghrib berjamaah karena sebagian santri yang lama belum datang ke pesantren karena jadual sekolah belum di mulai. Tiba-tiba saat Irwan dan teman-temannya sedang bersiap-siap di kobong untuk segera pergi kemesjid seorang kakak pengurus datang ke kobongnya dengan membawa serta seorang santri baru yang baru datang dengan diantar keluarganya yang terdiri dari sekitar enam orang memasuki kobongnya, dan sesaat kakak pengurus itu mempersilahkan santri baru itu untuk memeperkenalkan dirinya kepada semua santri baru yang berada di kobong tersebut.
”perkenalkan, nama saya Aprilio Riyan, biasa di panggil Riyan. Saya orang Leuwigajah Cimahi”. Seraya tangannya menjabat semua santri baru yang ada di kobong itu.
Dan satu persatu semua santri di kobong itu memperkenalkan namanya juga pada Riyan. Nadzoman sejarah para nabi di mesjid telah berkumandangkan pertanda beberapa menit lagi akan segera di kumandangkan adzan maghrib. Sebagian santri yang berada di kobong tersebut segera melangkahkan kainya ke mesjid. Dan segera keluarga yang mengantar Riyan juga pamit pulang karena hari sudah hampir gelap. Irwan dan Abdul Rahman mengajak Riyan untuk segera pergi ke mesjid dan Riyan segera membuka tas yang ia bawa yang berisi pakaiannya untuk mengambil seperangkat alat salat seperti yang di pakai Irwan dan Rahman, dan mereka bertiga berangkat bersama-sama kemesjid dengan terlebih dahulu berwudlu di tempat wudlu di halaman mesjid. Mereka duduk berjejer tanpa mengenal satu sama lain lebih jauh.
Sang malam telah membentangkan jubah hitamnya tanpa kehadiran bulan ataupun satu bintang. Namun suasana di aula pesantren atau biasa di sebut Aula Qodim karena usianya yang cukup lama tampak begitu meriah dan terang oleh cahaya lampu-lampu berwarna dan dekorasi yang sangat mewah. Seusai salat isya seluruh santri baru berkumpul di aula itu dengan wajah yang riang dan hati bergetar karena apa yang mereka saksikan malam itu sungguh luar biasa dan tak pernah mereka lihat sebelumnya.
Acara ta’aruf santri baru malam itu berlangsung meriah dan khidmat. Ketika seorang Pembina OSPA (organisasi santri pesantren Albidayah) memberikan sambutannya dengan kata-kata yang membuat seluruh yang hadir hatinya bergetar, dan membuat seluruh santri baru merasa yakin bahwa mereka akan betah tinggal di pesantren itu. Begitupun ketika kakak-kakak pengurus yang tergabung dalam tim kosidah, teather, dan paduan suara menampilkan keahliannya di hadapan santri baru itu, begitu memotifasi mereka untuk betah dan mengikuti jejak kakak itu.
Hari senin itu adalah hari pertama bagi Irwan dan teman-temannya masuk Madrasah aliyah sebagai peserta MOS (masa orientasi siswa) dan sebagai sisiwa MA Albidayah. Dan di hari itu juga Irwan dan teman-temannya bisa bertatap muka secara lebih dekat dengan sesama santri baru putri yang selama di pesantren terhalang oleh hijab. Selama tiga hari mereka akan menjalani MOS di MA dan selama seminggu mereka menjalani masa Ta’aruf di pesantren. Kakak panitia MOS yang bertugas sebagai Acara, MEDIK, Lagu, dan Lainnya sangat baik.berbeda dengan apa yang mereka dapat dari kakak TATIB (tata tertib) Bentakan dan suara keras yang di keluarkan oleh kakak-kakak panitia MOS yang bertugas sebagai TATIB itu membuat beberapa siswa baru itu sakit dan mereka merasa tidak yakin akan betah di pesanteren. Namun tidak demikian dengan Irwan, ia sangat menikmati acara MOS itu dengan rasa senang meskipun sedikit gugup dan takut.
Acara Ta’aruf dan MOS telah selesai. Mulai senin besok mereka harus sekolah dan menghadapi hari barunya dengan suka cita meskipun jauh dari orangtua masing-masing. Dari peserta Ta’aruf dan MOS yang awalnya sangat banyak, hari itu telah berkurang karena ada beberapa orang yang kabur dan mengundurkan diri untuk tidak menjadi santri dan siswa Albidayah. Teman sekobong Irwan pun ada dua orang yang kabur dan hanya meninggalkan sepucuk surat sebagai yang mewakili kata-kata pamitnya kepada Irwan dan teman-teman, yaitu Randi dan Rendy.
Malam itu suasana di pesantren begitu ramai dengan suara-suara santri yang membaca Barjanji di masjid dan santriyah di Aula jadid atau aula baru. Sesudah salat maghrib setiap malam senin di pesantren itu seluruh santri wajib mengikuti acara barjanjian dan membaca salawat bersama samai waktu salat isya tiba. Seorang kakak yang sudah kelas dua belas membacakan rawi dalam barjanji dengan suara merdunya dan sesekali seluruh santri menjawabnya dengan ”Solallahu’alaihi”. Sungguh kenikmatan bersolawat amat sangat terasa dan kebersamaan membuat ingatan mereka sementara meluakan rumah mereka yang di rindukan.
Riyan duduk termenung kesepian di sebelah salah satu tiang di mesjid. Andangannya hampa, matanya sesekali memejam lama, seolah bayang-bayang rumahnya tak mampu ia hapus sementara dari ingatannya. Bulir-bulir bening keluar dari matanya, ia menangis sendu tak bisa lagi menyembunyikan kerinduannya kepada keluarganya. Irwan dan Rahman mendekat adanya seraya bertanya tentang sesuatu apa yang terjadi adanya?, dan tak sepatah katapun keluar dari bibir Riyan jawaban atas pertanyaan Irwan dan Rahman. Ia terus menangis samai iqomah di kumandangkan dan semua makmum berdiri menghadap kiblat untuk sama-sama melaksanakan salat isya. Dalam salat hati Riyan masih teta menangis membayangkan keluarganya, dan ia pun seolah tak sadar bahwa dirinya sedang berdiri salat menghadap sang pemilik kerinduan Allah Swt.
Pengajian telah usai, Irwan dan Rahman kembali bertanya kepada Riyan apa yang sebenarnya membuat ia menangis?.
”aku rasanya tak yakin bisa betah hidup di Pesantren ini. kerinduan di dalam hatiku selalu datang di saat aku mulai berusaha merasakan indahnya hidup di sini, tapi setiap kali aku melihat atau mengalami sesuatu yang sering aku lakukan di rumah aku selalu sedih dan kerinduan itu pun muncul tiba-tiba”. Jelas Riyan sembari menangis.
”jelas saja, itu tidak hanya terjadi kepada kamu, tapi jika semua teman kita di tanya satu persatu apa mereka merasa senang tinggal di pesantren ini?,pasti mereka pun akan menjawab sama seperti kamu. Aku, Rahman dan semuanya juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan. Kami semua belum merasakan betah tinggal di sini, tapi bukankan untuk menuju sebuah kebaikan itu tidak mudah?, dan mungkin kamu pun tau bahwa untuk memperjuangkan agama Allah itu para Nabi juga berkorban banyak, entah itu waktu keluarga, harta dan lain sebagainya. Perjuangan kita belum ada apa-apanya di bandingkan dengan perjuangan para nabi yang rela di hina, di lempari kotoran, dan di sebut pendusta. Kita harus meyakinkan diri kita bahwa kita berada disini untuk memperjuangkan agama Islam yang telah di perjuangkan berabad-abad oleh para Nabi, Khalifah, Wali, dan para Ulama kita. Selain itu Rasul juga pernah bersabda bahwa Carilah ilmu walau ke negeri Cina, perjuangan kita belum ada apa-apanya, kita masih berada di Indonesia, belum sampai ke tarap yang di perintahkan Rasul untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Dan kita juga harus memiliki tujuan menuntut ilmu di pesantren ini untuk apa?, minimal ada tiga hal yang hal yang harus menjadi tujuan kita pergi kepesantren ini yaitu: satu. Untuk mempelajari kitab-kitab lain yang membahas islam secara lebih mendalam dibawah bimbingan kiyai yang memimpin pesantren. Dua. Untuk memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal. Yang ke tiga. Untuk memusatkan studinya di pesantren tanpa di sibukan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarga. Itu menurut sebuah buku yang pernah aku baca yang berjudul MORALITAS PESANTREN karangan Drs. H. Mansur, MSI”. jelas Irwan meyakinkan Riyan tentang perjuangan mereka tinggal di pesantren.

”Benar apa yang di katakan Irwan. Kita harus ingat atas perjuangan para pembela islam terdahulu hingga hari ini. pada zaman dahulu nabi Muhammad SAW. menyebarkan dan memperjuangkan Islam dengan secara sembunyi-sembunyi dan hingga bisa sampai seperti hari ini,lihat kita sekarang hanya tinggal menikmati dan mempertahankan apa yang telah di dapatkan para pembela islam terdahulu hingga sampai kepada kita. Selain itu juga kita harus ingat betapa beratnya perjuangan para Wali songo yang menyebarkan islam lewat wayang, judi dan lain sebagainya. Mereka berusaha keras untuk menumbuhkan islam di negeri Indonesia ini. kita juga harus benar-benar sadar untuk mempelajari Islam. Muhaimun dan Abdul Mujib menyatakan bahwa makna pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. selain untuk itu orang yang menuntut ilmu juga berarti mencari jalan menuju syurga seperti yang pernah di katakan Rasulullah SAW. Dalam haditsnya yang berbunyi: barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju syurga”. Rahman pun ikut menjelaskan dan meyakinkan Riyan untuk bisa betah di pesantren Albidayah.
Penjelasan Irwan dan Rahman sangat menyentuh perasaan Riyan yang sedang di rundung kerinduan kepada keluarganya. Semangat Riyan menjadi menggebu untuk menjadi salah seorang pejuang islam. Dia ingin sekali membuat bangga semua orang atas dirinya.
Dua minggu telah berlalu. Airmata itu kini menjadi persahabatan Semua kini seperti satu keluarga yang harmonis, tangisan dan kerinduan seakan sirna karena kekeluargaan di antara mereka semua santri baru yang mulanya merasakan kepedihan tinggal di pesantren berubah menjadi senyuman tulus yang tak kan pernah sirna oleh waktu.
Di dalam tradisi dunia pesantren rasa saling menyayangi dan kekeluargaan memang tidak asing lagi. Satu tersakiti maka yang lain akan ikut tersakiti pula. Hal demikian terjadi oleh karena tatanan kehidupan pesantren yang lebih menekankan hidup saling berbagi saling merasakan satu sama lain. Jika rasa saling menyayangi itu tidak ada, maka apa jadinya seorang santri yang seperti itu?, dia akan di jauhi teman-temannya tau bahkan seluruh santri. Maka mereka sebagai santri baru harus bisa menyesuaikan pola kehidupan di pesantren yang serba teratur dan tidak egois kepada semua manusia khususnya kepada sesama santri.
Getar-getar cinta mulai tumbuh menghiasi setiap episode mereka di Albidayah, masa ang tak mungkin mereka lewatkan, itulah masa-masa puber saat seseorang memiliki ketertarikan kepada lawan jenisnya.seperti halnya Irwan mulai merasakan jatuh hati kepada seorang gadis cantik nan ayu yang masih duduk di kelas delapan MTs. Entah siapa namanya, ia sendiri belum tahu pasti dengan siapa ia jatuh hati?. Riyan pun merasakan hal yang sama, ia pun telah jatuh hati kepada seorang gadis yang masih duduk di kelas sembilan MTs.
Tidak hanya Irwan dan Riyan yang sedang jatuh cinta, Rahman, Rafi, dan yang lainnya juga hampir merasakan hal yang sama, entah itu kepada teman sekelasnya, atau kepada adik kelasnya, dan ada juga yang merasakan jatuh cinta kepada kakak kelas yang sudah kelas dua belas Aliyah. Raihan adalah satu-satunya anak kelas sepuluh dari kobong lima yang merasakan jatuh hati kepada seorang kaka kelas yang sudah duduk di kelas dua belas IPS.memang sepertinya tak wajar, tapi apakah ini kebenaran cinta yang buta dan tidak perduli usia dan kedudukan?. Tempat curahan hati mereka salah satunya adalah kepada kang Ega yang sudah sangat dekat dengan mereka dan telah mereka anggap sebagai kakak sendiri.
Yudi, seorang remaja yang usianya paling muda diantara semua santri putra kelas sepuluh yang menjadi idola para remaja puteri untuk di jadikannya adik angkat atau pacar. Yudi memang rupawan, pintar, pemalu, dan ada dua hal yang sangat khas, yaitu kacamatanya dan badannya yang tinggi dan kurus. Tiga santriyah yang cukup terkenal karena kecantikannya di kalangan santri putra yaitu April, Latifah, dan Sinta yang masih duduk di kelas delapan MTs. Mereka adalah salah satu dari wanita-wanita yang mengagumi Yudi, dan tak jarang mereka manitipkan salam kepada teman-teman puteri kelas sepuluh untuk di sampaikan kepada Yudi. Saat cinta sudah mulai menghiasi kehidupan mereka semuanya menjadi lebih indah, tak ada lagi tangisan ataupun keluhan atas kerinduan mereka kepada keluarga.
Hari berubah menjadi minggu. Minggu-minggupun berubah menjadi bulan dan tiba saatnya mereka bisa melepas rindu kepada keluarganya, salah satu syarat mereka bisa betah tinggal di pesantren adalah harus melewati empat puluh hari tanpa pulang ke rumah masing-masing. Dan mereka semua bisa melewati itu semua, namun dikala penantian menuju empat puluh hari, tiba-tiba Rahman di timpa penyakit yang memaksanya pulang dan beristirahat beberapa minggu di rumahnya di Bogor. Hari sabtu setelah pulang sekolah sekitar jam dua siang para santri mengantri di depan rumah pak kiyai untuk meminta tanda tangan pak kiyai sebagai syarat izin pulang selama dua hari saja.



* * *





Episode kebahagiaan



Gerbang pesantren terasa seperti gerbang pembebasan. Santri yang baru merasakan jadual pulang pertama begitu merasakan bahagia yang sangat mendalam. Andai mungkin untuk berteriak mungkin rasanya mereka ingin berteriak sekeras-kerasnya meneriakan kebebasan. Namun ucap syukur saja telah cukup mewakili rasa bahagia yang mendera hati mereka tanpa perlu berteriak.
Irwan menatap langit dalam-dalam. Ia rasakan seolah telah lama tak menatap langit kebebasan di atas sana yang selama ini menjadi kebiasaannya menatap langit di kala sore hari tiba. Bus yang akan melewati desanya telah datang, irwan tak ingin menunggu lebih lama untuk segera bisa bertemu dengan keluarganya yang selama ini pasti telah menantikan kedatangannya. Aroma tak sedap di dalam bus sama sekali tak membuatnya patah semangat untuk bisa segera berjumpa dengan keluarganya, yang ada dalam benaknya hanya keluarga, keluarga, dan keluarga. Ia sama sekali tak menghiraukan siapa pun yang berada di sebelah kiri, kanan, depan ,dan di belakang tempat duduknya di dalam bus. Dalam perjalanan menuju desanya ia tertidur sangat pulas.
”maaf de, mau turun di mana?” tanya kondektur membangunkan tidurnya.
”saya mau ke Gununghalu mang” jawab Irwan kaget dengan terbata-bata.
”oh ini sudah sampai de. Ongkosnya mana?!”
”ini mang...!. terimakasih ya...!” seraya turun dari bus.
Pandangannya beredar meneliti setiap sudut terminal di desanya dan semuanya tak ada yang berubah nmasih tetap seperti saat ia berangkat meninggalkan desanya tersebut. Senja menyambut kepulangan Irwan yang sejak empat puluh hari lebih meninggalkan desanya dan tinggal di pesantren untuk menimba ilmu. Tukang ojek menawarkan tumpangan kepada Irwan dengan penuh harap, tapi Irwan tidak ingin sembarangan menumpangi ojek yang tidak ia kenal. Ia berusaha menolak tawaran mereka dengan lembut dan berusaha untuk tidak membuat mereka kecewa. Ingga ia menemukan seorang tukang ojek yang pernah mengaji di pengajian yang diasuh ayahnya.
Langkah kakinya berderap menuju rumah bibinya untuk segera bertemu keluarga yang di rindukan. pintupun ia ketuk dengan hati-hati dan penuh kasih seraya berharap sambutan baik menyambutnya.
”tuk...tuk...tuk. Assalamu’alaikum.” suara pintu di ketuk di sertai salam.
”wa’alaikumsalam...Alhamdulillah...!” suara neneknya lirih sambil membuka pintu yang di ketuk Irwan.
Neneknya menangis bahagia menyambut kedatangan sang cucu yang telah lama pergi menuntut ilmu untuk kehidupan desanya di masa yang akan datang, dan Irwan pun tak bisa membendung kerinduan yang ia tahan selama ini. seolah bertahun-tahun lamanya Irwan dan keluarganya tak berjumpa mereka merasa bahagia atas kepulangannya ke desa tercinta.
Dua hari serasa satu menit.hari libur yang di berikan oleh pihak pesantren memang tidak lama, tapi irwan cukup merasa bahagia bisa berkumpul bersama keluarganya meskipun hanya dua hari. Pesantren kini menjadi rumah baru bagi Irwan dan teman-temannya, dengan semangat baru mereka kembali kepesantren. Cerita demi cerita bergantian mengisahkan kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing. Kebahagiaan terpancar dari wajah polos mereka, semua kembali dengan penuh semangat dan harapan baru untuk memperjuangkan agama yang telah di perjuangkan para nabi, Wali, dan Ulama selama berabad-abad.
Jalannya hari yang telah mereka lalui telah mencapai hampir enambulan. Kesibukan mulai memadati hari-hari mereka di pesantren maupun di sekolah. Enambulan berlalu dengan di rasa cukup lancar, namun tidak dengan kisah cinta mereka masing-masing yang beraral. Yudi memang telah mendapatkan tambatan hatinya, April yang sejak beberapa bulan lalu menyalaminya, kini telah menjadi seseorang yang bisa membuatnya bahagia di pesantren maupun di sekolah.
Rahman juga telah mendapatkan kasih sayang lebih dari seorang satriyah kelas sebelas IPS yang selama ia sakit sangat memperdulikan dan menyayanginya, meskipun rasa tak sama ia rasakan kepada santriyah itu. Tak jauh berbeda dengan Yudi dan Rahma, Riyan pun telah mendapatkan seseorang yang ia anggap akan mengisi hidupnya di Albidayah.
Hidup memang kadang tak seperti yang selalu di inginkan, semua yang terbaik menurut kita belumlah tenbua baik menurut Allah. Begitupun yang di rasakan Irwan, ia memang telah mendapatkan seseorang yang ia sayangi, namun bukan Santriyah yang sejak awal ia idamkan, tapi ada yang lain yang mampu mengisi hatinya. Irwan berhasil menjadikan Ayu sebagai kekasihnya, namun tidak bertahan lama, karena Ayu ternyata labih memilih adik angkatnya untuk di jadikan seorang kekasihnya, dan jelas lah itu membuat Irwan merasa kecewa dan selama beberapa hari Irwan selalu terdiam menyesali hal yang membuatnya sakit saat itu. Persahabatan mampu membuatnya kembali tersenyum, Riyan berusaha menghiburnya. Namun selang beberapa hari saja, Riyan pun merasakan kecewa yang sama dengan apa yang di rasakan Irwan sahabatnya. Riyan baru mengetahui bahwa gadis yang ia anggap akan menemaninya selama di Albidayah ternyata adalah tunangan dari seorang Alumni yang meminangnya sejak gadis itu masih duduk di kelas delapan MTs. Tanpa berpikir panjang Riyan memutuskan hubungannya dengan gadis itu karena ia tidak ingin mendapatkan masalah di Albidaya.
Masa-masa penerimaan anggota baru ekskul dan perekrutan pengurus baru OSPA dan OSIS mulai di lakukansejak beberapa hari lalu, Irwan sangat bersemangat untuk mengikuti beberapa ekskul dan ia juga sangat berharap bisa masuk ke dalam jajaran pengurus baru OSPA dan OSIS. Ia ikuti semua seleksi masuk anggota baru ekskul dan organisasi. Irwan sangat berambisi untuk bisa aktif di ekskul dan organisasi supaya ia bisa mendapatkan ilmu ekstra dan bisa menilai seberapa besar tanggung jawabnya terhadap organisasi dan ekskul?.
Pengumuman hasil seleksi ekskul dan organisasi akhirnya di umumkan juga hari itu, dengan penuh semangat Irwan dan beberapa temannya yang telah ikut tahap seleksi menunggu saat-saat nama mereka mulai di panggil untuk mengikuti tahap pelantikan. Dan satu-persatu nama-nama yang masuk ke dalam jajaran pengurus di bagikan melalui surat resmi yang di keluarkan para pengurus OSIS yang akan lengser. Yudi, Rafi, Riyan, Hadi, Dendi,Mukti dan Rahman telah mendapatkan surat yang di idamkan itu. Rasa sedih jelas di rasakan Irwan dan yang lainnya. Namun semangat nya belum pupus karena beberapa malam lagi akan ada pengumuman siapa saja yang masuk ke dalam jajaran pengurus OSPA?.dan Irwan sangat mengharapkan dirinya masuk kedalam jajaran para pengurus pondok pesantren.
Malam gelap menyaksikan kegundahan di dalam hati Irwan. Irwan yang sudah kecewa atas dirinya karena ia tidak terpilih menjadi salah satu pengurus OSIS.kini sangat berharap pengumuman pengurus baru OSPA sekaligus pengumuman pindah kobong yang akan di umumkan sesudah acara Tamrinatut Thalabah berakhir akan membuatnya bisa kembali tersenyum dan semangat mengabdikan dirinya sebagai seorang pengurus pesantren. Saat yang dinanti hampir tiba, pembawa acara Tamrinan telah memanggil pembina OSPA untuk memberikan sambutannya seperti biasa dan sekaligus untuk mengumumkan pengurus OSPA yang baru dan perpindahan kobong seluruh santri.
Rahman, Riyan, Raihan, Ahmad, Dadan, Mukti, dan yang lainnya kembali mendapatkan kesempatan untuk bisa mengabdikan diri mereka sebagai pengurus OSIS dan OSPA, tidak halnya dengan Irwan dan Syahid yang sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mengabdikan dirinya di pesantren sebagai OSIS ataupun sebagai OSPA, sungguh ini semua ia rasa tidak adil. Hatinya teriris menghadapi kenyataan bahwa dirinya sama sekali tidak mendapatkan kepercayaan dari pihak pesantren dan aliyah sebagai salah satu pengurus di kedua organisasi besar di pesantren dan sekolah itu.
Persahabatan Irwan bersama Riyan dan Rahman seolah hancur karena perbedaan setatus dalam organisasi. Irwan merasa Riyan, Rahman dan yang lainnya menjauhi dirinya karena ia tidak menjadi seseorang yang berarti di pesantren maupun di sekolah. Selain itu juga penyebab lain yang menjauhkan mereka semua adalah karena kobong mereka kini telah berbeda. Irwan kini tinggal di kobong tiga yang terletak di lantai dua bersama Syahid, Hadi, Dendi, Yudi, Rafi, Edi, dan satu teman baru mereka yang baru masuk yaitu Zaki. Sedangkan Rahman, Riyan, Mukti, Raihan, Dadan, Ahmad dan yang lainnya yang telah terpilih sebagai pengurus OSPA tinggal di kobong tujuh yang terletak di lantai dasar. Mereka semua bisa berkumpul hanya saat waktu sekolah dan mengaji saja, selain itu jarang sekali mereka bertemu satu sama lain.
Persahabatan yang dulu di rasa begitu indah oleh Irwan, kini berubah menjadi persahabatan yang hanya tinggal kenangan. Ekskul teather dan mading kini menjadi fokus irwan dalam meniti kebahagiaan, ia dan Riyan kini bisa sering berjumpa di luar jadwal sekolah dan mengaji lewat aktifitasnya sama-sama mengerjakan mading. Begitupun dengan Rahman, kini Irwan bisa lebih sering bertemu karena kesibukannya bersama Rahman sama-sama di teather.

* * *





Cinta itu bersemi kembali



Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan setahun lah sudah Irwan, Rahman, Riyan, Rafi, Yudi, dan lainnya tinggal di pondok pesantren Albidayah yang semula seperti penjara bagi mereka namun kini syurga bagi mereka.
Jam tiga. Purnama bulat sempurna. Bintang-bintang bertaburan menghias angkasa. Malam itu pesantren terasa sejahtera. Angin musim semi mengalir semilir Pelan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela-sela pintu dan jendela mesjid. Menebarkan kesejukan-kesejukan.Di teras mesjid ia menghentikan langkahnya, dua orang santri itu menikmati indahnya malam yang di iringi angin sejuk tidur di kursi tamu yang selalu terpaku di teras rumah pak kiyai.
Diiringi tasbih daun daun yang dibelai angin musim semi menyaksikan kedamaian pesantren di saat penghuninya masih tertidur pulas. Irwan tak ingin melewati indahnya pancaran sinar sang rembulan malam itu, ia memanfaatkan indahnya malam dengan bangun terlebih dan melakukan kebiasaannya salat tahajud walaupun hany empat rakaat dan di tambah tiga rakaat witir di saksikan terangnya sang rembulan dan bintang-bintang.
Subuh kembali memancarkan indahnya lewat gema adzan yang membahana di saantero bumi Indonesia. Hatinya bergetar mendengar indahnya seruan tuhan memanggil setiap hambanya dengan tanpa paksaan untuk segera menghadap kepada-Nya bersama kesegaran dedaunan yang bertasbih menyebut asma Allah. Bening embun membawa kesejukan di setiap hamba yang senantiasa mau mensyukuri setiap nikmat yang di berikan Allah dalam setiap hembusan nafas.
Hatinya menangis. Ia merasa begitu durhaka kepada Allah, ia telah lupa mensyukuri setiap kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya. Ia terasa sangat jauh selama ini melupakan Allah yang senan tiasa menyaksikan setiap gerak langkahnya, ia tak pernah bersyukur atas apa yang telah ia dapat selama di pesantren dan sekolah, ia sadar bahwa jabatan bukanlah segalanya, pengabdian terhadap pesantren dan sekolah masih bisa di lakukan meskipun bukan melalui OSIS atau OSPA. Semua itu hanya sebagian dari jalan, dan bukan kunci utama untuk mengabdi terhadap pesantren dan sekolah, ia pun kini sadar betul bahwa bukan teman-temannya yang menjauhi dia, tapi dia sendiri yang merasa malu bergaul dengan mereka. Sungguh ia merasa menjadi seseorang yang sangat jahat kepada semua orang dengan menganggap mereka menjauh dan tidak percaya padanya.
Semua kembali seperti dulu. Irwan, Riyan, Rahman, dan semuanya kini kembali bersahabat tanpa ada sekat yang memisahkan antara mereka. Ahkirnya waktu jua yang mampu memberikan kedewasaan kepada Irwan yang semula merasa tersingkir dari persahabatannya. Jabatan yang semula ia anggap adalah pemisah kuat yang menghapuskan kehidupannya ternyata hanya sebagian kecil dari masalah-masalah yang akan menghujam dirinya.
Keakraban yang belum lama terbangun ternyata harus di tempa kembali dengan masalah yang tak kalah sengitnya dengan masalah-masalh sebelumnya. Irwan beserta sahabt-sahabatnya kini telah menjadi kelas sebelas yang mau tidak mau harus menghadapi masalah baru saat mereka harus memilih kelas yang akan mereka pilih, IPA atau IPS kah yang akan mereka pilih sebagai jurusan salah satu yang akan menentukan masa depan mereka nantinya. IPA di pandang sebagai jurusan anak-anak yang memiliki otak pintar. IPS dalam pandangan mereka adalah kelas terpinggir yang tidak layak mereka pilih karena pelajarannya menurut mereka tidak memerlukan otak yang kompeten untuk mempelajarinya. Pandangan itu timbul dari pemikiran mereka sendiri, sehingga saat mereka memilih jurusan harus terjadi banyak masalah yang mampu menghancurkan kebersamaan mereka selama ini.
Sebagian anak-anak kelas sebelas yang memilih jurusan IPS merasa mereka sebagi anak-anak yang kurang memiliki pemikiran yang lebih di banding dengan anak-anak yang memilih kelas IPA yang di pandang lebih pintar makanya memilih jurusan itu. Persaingan dan kebencian timbul akibat perbuatan anak-anak yang tidak bertanggungjawab. Fira adalah salah satu siswi yang memilih jurusan IPS dan membuat suasana menjadi rumit. Fira sengaja mengirimkan secuil kertas kepada seorang guru geografi dengan tujuan untuk menjelek-jelekan kelas IPA. Di dalam kertas itu tertulis
”pak, saya sangat merasa sakit hati oleh anak-anak kelas sebelas ipa yang sok pintar dan terkadang melecehkan kami anak-anak kelas sebelas IPS” itu isi secuil kertas yang hendak di kirimkan Fira kepada seorang guru geografi.
Namun sebelum Fira berhasil mengirimkannya ,terlebih dahulu Irwan dan Sarah menemukan secuil kertas itu di tangga menuju lantai dua sekolah saat mereka sedang piket membersihkan lingkungan sekolah pagi itu sebelum para siswa/i hadir di sekolah. Irwan kaget dengan tulisan yang di tulis di atasnya, Irwan sangat yakin bahwa tulisan itu tulisan Fira karena ia sangat kenal dengan semua tulisan teman-temannya.
Setelah membacanya Irwan lekas memberikannya kepada Sarah dan menanyakan kepada sarah apa benar itu tulisan Fira?. Sarah merasa marah atas perbuatan Fira yang menurutnya terlalu berlebihan. Akhirnya berita itu sampai kepada seluruh siswa/i kelas sebelas, dan Fira pun sangat kaget dengan kejadian ini. fira tidak menyangka kalau curhatannya itu diketahui oleh teman-temannya, saat itu juga setelah ia mendapatkan teguran dari teman sekelasnya ia meminta maaf kepada semua siswa/i kelas sebelas IPA.
Pagi itu ia rasa berbeda dengan pagi pagi sebelumnya. Matahari di langit sana begitu terasa hangat ia rasakan, jiwanya terasa segar,dan jantungnya berdebar tak seperti biasanya. Di atas tembok di depan kelasnya ia duduk menatap indahnya mentari yang sejak tadi seolah memandangnya dengan penuh kasih. Di matanya Albidayah terasa berbeda pagi itu. Entah apa yang membuatnya terasa berbeda, tapi hati Irwan merasakan hal yang tak biasa pada gadis itu. Gadis itu adalah Sinta, dia yang daulu pernah membuatnya jatuh hati dan merasakan bahagia saat menatap wajahnya.
”ya Allah... lindungilah hambamu ini dari perasaan yang bisa membuat hamba jatuh ke dalam lubang dosa yang menjerumuskan ke dalam api neraka. Dan lindungilah pandanganku ini dari pandangan yang membuat engkau murka...!” hatinya berdesir meohon perlindungan Allah.
Gadis di bawah sana sungguh membuatnya tenang. Wajahnya teduh menyejukan, dia terlihat anggun dan cantik.. Jantung Irwan berdegup sangat kencang bagaikan bedug yang di pukul saat Takbiran di malam Idul Fitri. Tak dapat ia pungkiri lagi bahwa ia telah jatuh cinta kepada gadis bernama Sinta itu, yang sejak setahun lalu ia rasakan perasaan itu dan kini cinta itu bersemi kembali di hatinya.
”lagi ngapain Wan?”suara Yudi membuyarkan lamunannya tentang Sinta.
”mm...tidak, aku hanya sedang menikmati indahnya mentari...!” jawabnya gugup.
”tak perlu lah kamu berbohong kepadaku. Aku ini kan sahabatmu, aku tahu kamu sedang memandang Sinta kan? Dan aku tahu kamu ingin dia tahu perasaanmu kan?” Yudi berusaha menebak isi hati Irwan.
”tidak lah Yud, aku takut kecewa untuk kedua kalinya”.
”tapi Wan, Sinta aku kira adalah wanita yang berbeda”.
”aku rasa juga begitu, tapi...!”
”ah sudahlah ayo kita masuk kelas”. Yudi memotong pembicaraan Irwan sambil menariknya untuk segera masuk kelas karena guru biologi sedang menuju kelas mereka.
Irwan masih membayangkan indahnya wajah Sinta yang begitu anggun dan cantik. Konsentrasinya samasekali tidak berada di kelas itu, ia masih memikirkan ucapan Yudi yang seolah memberikan dorongan kepadanya untuk mengutarakan perasaannya kepada Sinta.
”Irwan coba bagaimana menurut kamu?” ibu guru biologi itu mengagetkan, karena ia tahu Irwan sejak tadi tidak memperhatikannya.
”i..i..iya Bu...? apa?” Irwan kaget bukan kepalang. Wajahnya merah padam di liputi rasa malu.
”Irwan, cobalah berusaha propesional dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya” dengan bijak buguru menasehatinya.
”iya Bu maafkan saya...!”. pinta Irwan.
”ya sudah sekarang kita lanjutkan pelajaran kita”.
Bu guru pun melanjutkan pelajarannya dengan penuh dedikasi. Ia sangat mengerti dengan keadaan murid-muridnya yang sudah mulai beranjak dewasa. Ia menyelesaikan pelajarannya hingga bel istirahat berbunyi.
”tot...tot...tot...” suara bel di luar memberi tanda bahwa waktu istirahat telah tiba.
”ya terimakasih anak-anak sekarang kalian boleh istirahat. Wassalamu’alaikum”. Dengan bijak ibu guru mempersilahkan murid-muridnya istirahat. Sambil kakinya melangkah keluar dari kelas di ikuti riuh gemuruh para siswanya mengikuti.
”eh tadi kamu mikirin apa sih?” tanya Riyan sambil melangkah mendekati tempat duduk Irwan.
”tidak ada apa-apa,aku hanya sedikit pusing aja..”
”pusing?, tapi aku lihat tadi kamu senyu-senyum sendiri”
”aha kamu salah lihat mungkin...ya sudah yuk kita keluar” tangan Irwan menarik tangan Riyan.
”kemana...?!”
”kemana aja...jajan yuk...!”ajaknya penuh semangat.
Irwan dan Riyan melangkahkan kakinya menuju lapangan parkir untuk membeli buah-buahan yang biasa ia makan setiap jam istirahat. Di lapangan parkir ia melihat Yudi dan Rafi yang sedang asyik memakan baso yang menjadi makanan kesukaan mereka setiap waktu istirahat. Dan tanpa sengaja di waktu yang bersamaan Irwan juga melihat Sinta sedang memesan buah melon kepada penjual buah-buahan itu, dan secara tiba-tiba langkah kakinya terhenti dan jantungnya kembali berdegup kencang.
”Wan kenapa berhenti?, tukang buahnya kan di situ...”
”iya...tapi sebentar dulu aku malu...”
”malu sama siapa?” mata Riyan menyelinap ke setiap sudut di lapangan itu, dan matanya menemukan Sinta yang sedang memesan buah tadi.
”ah kamu, aku kira malu pada siapa eh ternyata dia...!?”
Setengah jam telah berlalu. Irwan dan teman-temannya kembali kekelas untuk mendapatkan pelajaran berikutnya hingga jam setengah dua belas pas. Karena setelah jam setengah dua belas mereka harus segera mencari makan siang di kantin atau sekitar pesantren. Ketika jam makan siang, Irwan tidak lantas memanfaatkannya untuk segera makan siang, tapi ia malah melamun sendiri di kobongnya ketika semua temannya pergi ke kantin untuk makan siang. Dia masih merasakan getaran itu, semua anggota tubuhnya tak dapat berpungsi dengan normal, ia di kuasai oleh Sinta yang sejak pagi membayanginya sampai dia tak mampu melupakan kejadian pagi itu yang membuatnya begitu bahagia dan kagum.


* * *



















Semuanya belum berakhir




Setiap anak tangga yang ia pijak sepertinya sangat berharga baginya. Tak ada waktu yang ia anggap sepele, namun ia masih belum bisa menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Dia masih saja terkadang menyia-nyiakan waktu yang ia punya.
Waktu terus berlalu meskipun kadang menusia tak pernah sadar bahwa waktu yang ia miliki bisa menjadi pedang yang sangat tajam dan akan menghujamnya kapan saja ketika ia dalam keadaan lengah. Semakin lama Irwan, Riyan, Rahman, Yudi dan yang lainnya tinggal bersama bukan berarti masalah tidak akan menghampiri mereka karena telah saling percaya satu sama lain.
”Yud kamu lihat Irwan tidak?” tanya Ahmad ketus.
”tidak, sejak di sekolah aku belum melihat Irwan, mungkin dia ada di perpustakaan. Coba lihat sana!, tapi memengnya ada apa?” Yudi merasa heran dengan cara Ahmad menanyakan Irwan. Ia lekas menyusul Ahmad ke perpustakaan, ia curiga akan terjadi sesuatu dengan Irwan dan Ahmad.
Ahmad tidak menemukan Irwan yang ia cari di perpustakaan. Yudi merasa lega karena Ahmad tidak menemukan Irwan, tapi ia sangat merasa heran sebenarnya ada apa antara Irwan dan Ahmad?. Ia berusaha bertanya kepada Ahmad, namun pertanyaannya sama sekali tidak di hiraukan Ahmad. Saat pelajaran telah dimulai, ia masih merasa bingung dengan apa yang terjadi pada Ahmad, kenapa Ahmad mencari Irwan dan sepertinya Irwan punya masalah dengan Ahmad.
”eh Yud, kenapa kamu?” Irwan membuyarkan pikirannya tentang Ahmad.
”ini Wan, tadi Ahmad nyari-nyari kamu, dan sepertinya dia marah sama kamu”, jelas Yudi.
”mencari aku?, tidak biasanya ada apa ya...!?” Irwan heran.
”iya, tadi Ahmad mencari kamu dan aku ujuga tidak tahu...!”
”Irwan, Yudi, kalian sedang membicarakan apa?” tegur pak guru fisika.
”tidak pa, aku hanya pinjam pulpen kepada Yudi” irwan menjelaskan.
Setelah jam sekolah berakhir, Irwan segera menemui Ahmad karena ia takut ada sesuatu hal yang ingin di sampaikan oleh Ahmad kepadanya. Yudi mengikuti Irwan ke kobong tujuh yang saat itu tidak ada siapa-siapa.
”Assalamu’alaikum. Mad, kata Yudi tadi kamu nyari aku, ada apa ya?” kakinya melangkah masuk ke kobong tujuh.
”iya tadi aku memang mencari kamu. Begini Wan, anak-anak puteri di kelas aku masih tetap merasa bahwa kalian anak-anak kelas IPA khususnya yang perempuan sangat egois dan sombong atas jurusan kalian. Tapi bukannya aku lebih percaya mereka tapi kamu sendiri tahu kan kaum perempuan selalu lebih sensitip dan selalu ingin di mengerti. Aku tidak tahu harus bicara kepada siapa lagi tentang masalah ini selain sama kamu karena kamu kan cukup dekat dengan teman-teman perempuan di kelas kamu, jadi aku sangat memohon kepada kamu untuk bicara baik-baik kepada anak-anak kelas IPA yang puteri”
”O...jadi itu masalahnya...? kalo begitu besok InsyaAllah aku akan bicara dengan mereka dan aku akan berusaha menghilangkan anggapan itu semua dan kalau begitu aku ke kantin dulu ya, sudah dari tadi aku merasa lapar”.
”ya sudah silahkan, sebelumnya terimakasih ya atas pengertian dan kerja samanya. Dan maaf juga karena telah mengganggu waktu kamu”
”tidak apa-apa lah justru aku yang harusnya berterimakasih karena kamu mau membicarakannya kepadaku”
Seraya kakinya melangkah keluar menuju kantin untuk membeli makan siang.
Jarum jam di kobongnya menunjukan pukul empat belas tiga puluh siang.itu adalah waktu yang sering di manfaatkan para santri untuk tidur siang sebagai persiapan karena malamnya mereka harus mengaji sampai jam sembilan malam dan di tambah belajar bersama dari jam sembilan sampai jam sepuluh malam. namun matanya tak mau terpejam meskipun teman-teman di sebelahnya telah tertidur pulas. Ia memikirkan apa sebenarnya yang membuat anak-akan puteri kelas sebelas IPS selalu menganggap anak-anak kelas sebelas IPA sebagai orang yang egois dan sombong. Ia memikirkan hal itu hingga adzan ashar di mesjid telah di kumandangkan.
Semuanya belum berakhir. Deretan episode kehidupan yang harus mereka lewati masih sangat panjang dan masalah pun masih belum menyerah menghantam persahabatan mereka yang bertahap akan membuat mereka semakin dewasa dan di tuntut untuk menyelesaikannya secara bijak dan adil supaya tidak ada yang merasa menyakiti dan tersakiti. Semua masalah harus benar-benar di selesaikan secara baik karena kebaikan yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.
Pada waktu jam istirahat Irwan mengumpulkan semua siswi kelas sebelas IPA dan IPS untuk di ajak berdiskusi tentang masalah yang membuat mereka terpecah, dan akhirnya masalah yang selama ini menjadi sangat berkepanjangan hanyalah karena kurangnya komunikasi antara mereka semua sehingga timbul ke salah pahaman antara mereka. Irwan mencoba menjelaskan depinisi komunikasi.
”komunikasi adalah suatu proses yang membuat kebersamaan bagi dua orang atau lebih yang semula monopoli oleh satu atau beberapa orang. Dan komunikasi juga sangat penting di lakukan dengan baik karena komunikasi adalah suatu cara untuk menyampaikan pesan dengan tujuan akan menghasilkan pengertian yang sama tanpa ada kesalah pahaman di satu pihak. Selain itu jika kita mempererat tali silaturahmi maka kita akan di lapangkan rizkinya sebagaimana Hadist yang pernah di katakan Nabi Muhammad SAW. ”dari Anas bin Malik r.a. saya pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, Siapa yang ingin di luaskan rezekinya dan di panjangkan umurnya, hendaklah menyambung hubungan kekeluargaan.”. Jelas irwan dengan bijak.
Dan mulai saat itu mereka berjanji akan memperbaiku komunikasi diantara mereka supaya hubungan mereka lebih baik.
Irwan mampu menyelesaikan kemelut yang melilit persahabatan antara santriyah kelas sebelas IPA dan IPS dengan bijaknya.


* * *

















Bintang kehidupan



Sore itu jam di aula kodim telah menunjukan pukul tujuh belas lebih tiga menit. Setiap sore jika jadual mengaji telah selesai, para santri putera biasanya bermain di pinggir aula hijau atau di depan wartel pesantren, selain hanya untuk sekedar melihat setiap kendaraan yang melintas, biasanya mereka juga sekalian jajan. Di depan pesantren setiap waktu sore telah tiba biasanya para penjual jajanan telah bersiap menjajakan barang dagangannya kepada santri.
Sampai suara puji-pujian di mesjid berkumandang membacakan sejarah para nabi mereka akan tetap bermain di sana. Gema adzan maghrib selalu mengingatkan mereka untuk bersegera mengingat Allah. Karena secara umum, tujuan pendidikan di pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Seperti bintang kehidupan. Seorang santri di tuntut untuk bisa mengubah cara hidup masyarakat yang terbelakang dan ortodoks. Irwan dan teman-temannya mungkin telah paham dengan tugasnya di masa depan sebagai bintang kehidupan di masyarakat. Selain itu mereka juga tidak boleh menyia-nyiakan waktu mereka karena waktu tak kan muntgkin bisa di ulang, dan masa produktif mereka juga akan berahkir setelah usia mereka beranjak lebih dewasa.
Malam manjadi selimut hangat bagi Irwan. Ia merasa tiada yang lebih indah dan lebih hangat dari indahnya malam itu. Sepinya malam memberikan inspirasi terbaik untuknya, ia mencoba menulis puisi tentang apa yang sedang ia rasakan dan pikirkan. Jari-jarinya menggenggam sebuah bolpoin dan kemudian menorehkan tintanya kepada selembar kertas putih polos dan bersih.

Isyarat cinta

Kau beri senyum hangatmu untukku
Lembut suaramu bangunkan tidurku
Hariku indah bersama bayangmu
Meski tak kau tahu aku mencintaimu

Andai kau tahu isi relung ini
aku inginkan beri isyarat untukmu
Isyarat cinta yang tak bisa terbalas hati
Biarlah cinta ini hidup dalam hatiku

Tak usah aku milikimu
Bila cinta ini bukan takdirmu
Azinkan aku mencintai
Meski hanya bayangmu yang aku miliki.


Be my heart


Puisi itu ia tulis sebagai karya pertamanya. Hatinya berdesir mengingat wajah Sinta. ”Asstaghfirullah”ucapnya kaget setelah melihat jam dinding yang terpaku di dinding aula kodim telah menunjukan pukul dua belas dua puluh lima tengah malam. Ia segera mengemasi barang-barangnya seraya melangkah pergi manuju kobongnya di lantai dua. Ia bersegera menutup pintu kobongnya, ia melihat teman-teman kobongnya telah tertidur pulas dengan dan ia segera mematikan lampu kobongnya supaya tidak ada yang terbangun karena silaunya cahaya yang di pancarkan lampu itu. Ia tidur di sebelah Yudi.
”dari mana Wan?”, tanya Yudi yang masih terbangun.
”loh kok...? kamu terbangun? Maafkan aku ya Yud mengganggu tidur kamu...!” Irwan kaget dan merasa bersalah.
”tidak...bukan karena itu, tapi dari sejak pulang belajar tadi aku tidak bisa tidur sedetikpun”. Jelas Yudi pada Irwan.
”kenapa memangnya?, ada yang kamu pikirkan?” tanya Irwan penasaran.
”aku memikirkan April. Dia menurut teman-teman sekelasnya adalah seorang wanita yang tidak baik dan tidak lebih dari seorang penjahat lelaki”.
”maksud kamu apa?” Irwan semakin penasaran.
”tadi siang aku ngobrol dengan anak-anak kelas sembilan MTs di kobong mereka. Dan aku bertanya bagaimana menurut pandangan mereka mengenai April?. Dan mereka menjawab bahwa april sejak kelas tujuh sudah sering berpacaran dengan kakak kelasnya maupun dengan teman sekelasnya, dan dia juga adalah tipe wanita yang suka mempermainkan laki-laki”. Jelas Yudi.
”hm...aku tidak bisa berkomentar apa-apa karena aku benar-benar tidak tahu tentang April. O... tapi jangan khawatir, besok aku akan mencari informasi tentang April kepada teman-teman sekelas kita yang puteri.” Irwan mencoba menawarkan bantuan.
”iya tapi jangan ke semua orang ya!, cukup sama satu orang saja...!”
”iya aku tahu apa yang harus aku lakukan”.
”ya sudah kalau begitu. Aku juga merasa lega ada yang mau mendengar keluh kesahku, dan mau membantu aku. Terimakasih sobat ku...! kalau begitu kita tidur supaya nanti subuh tidak kesiangan” yudi merasa senang dan tenang.
”iya aku juga sudah ngantuk...!” sembari membaca do’a sebelum tidur ia menarik selimutnya.dan mereka tertidur pulas.

Adzan subuh telah bergema. Semua santri dan santriyah telah berada di mesjid dan membaca salawat, namun ada yang masih tertidur pulas di atas tempat tidur dengan tanpa beban. Mereka adalah Irwan dan Yudi yang semalam terlambat tidur sampai akhirnya mereka juga terlambat bangun untuk berjamaah salat subuh di mesjid bersama seluruh santri dan para guru. Seusai salat subuh seperti biasa pak kiyai menyuruh salah seorang pengurus yang piket yang sudah kelas dua belas untuk melihat ke kobong-kobong. Dan bila ada yang tidak berjamaah maka ia akan mendapatkan hukuman dari pak kiyai.
”jeblag...!” suara pintu di pukul cukup keras membangunkan tidur Yudi dan Irwan.
”bangun...bangun...eh kalian bukannya memberi contoh yang baik untuk adik kelas, ini malah memberikan contoh buruk...!” suaranya tinggi memarahi Yudi dan Irwan sambil menarik selimut yang mereka gunakan dan memukulkannya. ”iya kang...maaf kami tidak mendengar adzan, dan kami merasa tidak dibangunkan oleh teman sekobong kami”. Jelas Yudi membela diri.
”terserah kalian...sekarang yang penting kalian segera menghadap pak kiyai di depan rumahnya”.
Dengan terburu-buru Irwan dan Yudi memakai sarung, baju koko, dan peci putihnya. Mereka segera mengambil air wudlu dan segera pergi kemesjid untuk salat subuh dan menghadap pak kiyai. Dengan di ikuti oleh kakak kelasnya mereka menemui pak kiyai terlebih dahulu yang baru saja keluar dari mesjid setelah wiridj selesai. Dengan penuh rasa hormat dan penuh rasa bersalah mereka berdua berdiri membungkuk di depan pak kiyai yang tengah bersiap memberikan hukumannya.
”kenapa kalian terlambat...?” tanya pak kiyai dengan nada suara tinggi dan penuh wibawa.
Irwan dan Yudi tak mampu memberi alasan untuk pembelaan, mereka berdua hanya tertunduk malu tanpa berkata sepatah katapun.
”sekarang cepat kalian solat subuh berjamaah...!, dan setelah itu kalian membersihkan kaca, dan lantai mesjid luar dalam...!, setelah itu kalian mengaji”. Tegas pak kiyai.
Tanpa berkata-kata seusai pak kiyai melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya, mereka masuk ke mesjid dengan terlebih dahulu membasuh kakinya di sebuah kolam yang di buat khusus untuk orang-yang yang akan memasuki mesjid yang biasa di sebut kulah oleh para santri dan santriyah. Mereka segera salat subuh berjamaah, Irwan menjadi imam dan di ikuti Yudi yang berdiri di sebelah kanan di belakang Irwan.
Surat Duha Irwan baca di rakaat pertama setelah terlebih dahulu membaca surat Fatihah. Dengan suara lembut Yudi mengamini bacaan surat Ftihah yang selesai Irwan baca. Seusai salat subuh, mereka berdua bersegera mengerjakan apa yang telah di perintahkan oleh pak Kiyai sebagai hukuman atas keterlambatan mereka melaksanakan salat subuh berjamaah. Dan seusai melakukan apa yang telah di perintahkan pak Kiyai, mereka mengikuti pengajian walaupun terlambat selama beberapa menit saja karena pak Ustadznya juga terlambat datang ke temapat mengaji.
Irwan merasa sangat bersalah kepada kedua orang tuanya karena keterlambatannya bersama Yudi, yang sudah membuat pak Kiyai marah kepada mereka. Irwan merasa kedua orang tuanya pasti kecewa kepada dirinya apabila mereka mengetahui kesalahan yang telah ia lakukan di pesantren sehingga membuat pak Kiyai marah. Bintang kehidupan yang di damba-dambakan kedua orang tuanya telah gagal menjadi anak yang baik kepada orang tua, guru, dan sesama muslim. Ia sungguh merasa bersalah dan ia segera beristighfar atas kesalahannya. Ia ingat apa yang pernah di katalkan ayahnya, ”ketahuilah nak, bahwa penuntut ilmu tidak akan dapat meraih ilmu dan memanfaatkannya kecuali dengan menghormati ilmu dan ulamany serta memuliakan, menghormati dan menuruti guru”.
Seperti biasanya Irwan selalu berangkat ke sekolah lebih dulu daripada teman-temannya. Dia membersihkan kelasnya karena ia melihat sampah berserakan di lantai kelasnya, dan ia menghapus bersih papan White board yang belum di hapus bekas pelajaran terakhir hari kemarin. Satu persatu teman-temannya memasuki kelas yang sudah ia bersihkan, mereka memancarkan senyuman tulus sembari mengucapakan salam. Sebelum suara bel di bunyikan, seluruh siswa/i kelas sebelas IPA telah memasuki kelas, dan Irwan segera mendekat ke arah tempat duduk seorang siswi yang bernama Fabian. Dan tanpa basa-basi Irwan langsung bertanya kepada Fabian mengenai keseharian April di kobong yang ia ketahui dari Yudi memang April kurang baik. Namun tidak serta merta ia percaya dengan apa yang di katakan teman-teman April kepada Yudi.
”ada apa Wan kamu menanyakan soal April?, apa kamu suka ya sama April...?” dengan gurauan di sertai rasa penasaran Fabian beranya.
”tidak...,bukan begitu, aku hanya ingin tahu saja karena aku dengar-dengar April termasuk salah satu santriyah yang kurang baik ya...?”
”dari mana kamu tahu itu...?, iya sih memang, tapi dia cukup hormat kok kepada kakak kelasnya, dan selain itu dia juga baik kepada sesama santriyah. Tapi menurut cerita-cerita santriyah yang lebih dulu di pesantren ini, dia memang kurang terpuji karena sifatnya yang sering gonta-ganti pacar padahal umurnya kan belum cukup saat itu...! jelas Fabian kepada Irwan yang sangat penasaran dengan cerita tentang April.
”O... begitu ya...?! ya sudah terimakasih ya Bi”, seraya berjalan meninggalkan Fabian dan menuju ke kursi tempat duduknya. Kepalanya mengangguk-angguk dia mulai mengerti.
Tanpa menunggu lama Irwan menceritakan apa yang telah ia dengar dari Fabian kepada Yudi, dan Yudi semakin khawatir dengan hubungannya dengan April. Mukti yang mendengar percakapan Irwan dan Yudi ikut berkomentar tentng April.


* * *


















Hanya khayalan


April memang mungkin bukan wanita yang sempurna. Tapi sebesar apapun kesalahan april, tetapi tetap April memiliki sisi positif yang menjadi kelebihannya. Mukti menjelaskan apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan April selama yang ia tahu, karena ia cukup tahu karena ia adalah satu-satunya kelas sebelas putera yang MTs nya lulus dari MTs. Albidayah juga. Dia cukup tahu banyak kebaikan dan keburukan April. Arril adalah gadis yang sopan terhadap orang yang lebih tua darinya, ia juga tidak pernah berbicara dengan nada yang keras terhadap orang yang umurnya lebih tua darinya.
Di hati Yudi ada rasa kagum tersendiri mengenai April, tapi ia juga merasa ragu dengan kesetiaan April yang terkenal dengan kebiasaannya berganti pacar sejak kelas tujuh MTs. Yudi tak ingin menyakiti April dengan memutuskan hubungan mereka hanya karena hatinya yang tidak yakin dengan kesetiaan April. Namun di sisi lain Irwan berusaha meyakinkan Yudi untuk lebih percaya kepada hati nuraninya sendiri, dan hati nuraninya tetap berkata bahwa April memang kurang baik untuknya. Yudi terus-menerus memikirkan masalah itu, ia ingin mengikuti kata hatinya, tapi ia juga tidak ingin menyakiti hati April.
Di tempat yang lain di kobongnya di kobong satu puteri Sinta sedang asyik juga dengan khayalannya tentang Irwan yang ia anggap sangat baik dan perhatian. Diam-diam Sinta juga menaruh hati kepada Irwan, dia merasa isyarat cinta yang di tunjukan Irwan memang benar-benar untuk dirinya. Sinta sangat senang, tapi dia sangat takut kalau perasaannya hanyalah perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan dan tidak bersambut. Selain itu Sinta juga sangat takut seseorang yang menjadi kekasihnya saat itu akan merasa tersakiti atas perasaannya itu. Sungguh hatinya terbagi, ia tak mampu kalau perasaannya kepada Irwan akan menyakiti hati orang yang jelas-jelas telah menjadi kekasihnya.
”hey... lagi ngapain kamu...?” suara April membuyarkan khayalannya tentang Irwan.
”O...o...gak sedang apa-apa kok... aku lagi mikirin tugas bahasa Inggris yang besok harus dikumpulkan”. Sinta kaget.
”tugas...? perasaan gak ada tugas Sin...1?” April heran mendengar alasan Sinta.
”eh iya aku lupa memang tidak ada tugas. Aku mandi dulu ya...!, sebentar lagi ashar kan...!”. tangannya menarik handuk yang menggantung di samping lemarinya dan kemudian kakinya melangkah keluar menuju kamar mandi.
April merasa aneh dengan tingkah Sinta yang berbeda dari biasanya, tapi ia tak mau memikirkan hal-hal yang tidak penting baginya. April segera menepis kecurigaannya kepada Sinta. Ia pikir mungkin penjelasan Sinta memang benar bahwa Sinta hanya sedang memikirkan tugas sekolah.
Pikiran Sinta masih belum lepas dari seorang Irwan. Irwan sangat membuatnya bingung, ia tak ingin salah kaprah atas perhatian yang Irwan berikan lewat teman-teman nya. Sinta sangat takut semuanya tak sesuai harapannya. Ia tak ingin cinta pertamanya justru akan membuatnya harus berurai airmata karena sakitnya berharap sesuatu hal yang sebenarnya tak pantas ia harapkan. Sewaktu akan mengaji di lantai dasar mesjid, Sinta melihat Irwan lewat di hadapan matanya menuju ke lantai dua mesjid untuk mengaji juaga, dan Irwan memberikan senyum manisnya kepada Sinta yang saat itu melihatnya dari kejauhan. Sinta merasakan bahagia dalam hatinya, derasnya rasa kagum yang ia rasakan terhadap Irwan membuatnya semakin bahagia dan bersemangat.
Irwan tersenyum bahagia, ia merasa malam itu adalah suatu anugrah yang khusus Allah berikan untuk dirinya. Bintang di atas sana seolah menyaksikan kebahagiaan Irwan, mereka tersenyum dan berkedip-kedip seperti mata yang memancarkan kebahagiaan. Namun terkadang Irwan merasa perasaan itu tak layak ia miliki karena Sinta tidak mungkin memilihnya. Sinta telah memiliki Hamdan teman sekelasnya yang mencintainya sejak mereka masih kelas tujuh, Irwan sama sekali tidak tahu bahwa Sinta juga sebenarnya menaruh harapan kepadanya. Bukan Hamdan yang Sinta harap tapi Irwan lah yang ia rasa mampu menjadi imam baginya dan akan membuatnya bahagia kelak.
”hey kamu kenapa cengar cengir sendirian...?” tegur Rahman.
”hehe...hehe...! gak apa-apa kok aku hanya lagi seneng aja tadi aku lihat Sinta begitu cantik engan balutan mukenanya”. Jelas Irwan sambil tersenyum.
”O...itu toh yang bikin kamu kayak orang gila...?”
”aha sudah jangan di bahas...!, tuh pak Ustadz sudah datang...!”, pintanya Irwan sambil membuka kitab kuning yang ia bawa.
Terus berkhayal membuatnya seperti orang yang tak punya kegiatan lain, padahal dia benar-benar sadar bahwa tugas utamanya adalah menuntut ilmu sebanyak-banyaknya di pesantren itu. Perbedaan ruang dan waktu yang ia hadapi bersama Sinta memang hanya akan menjadi khayalan belaka. Kebahagiaan yang terajut indah, kisah kasih yang bersambut hanya sebuah khayalan yang jauh rasanya untuk di wujudkan karena salah satu peraturan pesantren juga yang melarang setiap santrinya untuk berpacaran. Bukankah jika ingin ilmu yang di dapatnya bermanfaat haruslah mengikuti semua aturan yang di keluarkan oleh gurunya?. Itulah yang selalu di pegang teguh oleh seorang Irwan yang mengerti betul bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan tak selayaknya sesuatu yang hanya akan menjadi khayalan tetap ia pertahankan.
Tak seperti biasanya, minggu pagi itu ada yang berbeda setelah selesai bersih-bersih bersama, tiba-tiba pengurus OSPA bidang keamanan mengumumkan seluruh santri dan santriyah harus segera berkumpul di aula kodim karena pembina OSPA akan segera datang untuk mengumumkan sesuatu yang sangat penting.
Pembina OSPA duduk di kursi yang biasa di pakai oleh ustadz-ustadz yang biasa mengajar pengajian di aula itu, dengan sikapnya yang ramah beliau memberi salam dan usai itu pembina memulai maksudnya mengumpulkan seluruh santri dan santriyah di aula kodim, perlahan seluruh santri mulai mengerti dengan maksud pembina.
”saya mendengar bahwa sangat banyak santri dan santriyah yang menjalin hubungan sebagai pacar, adik-adikan atau kakak-kakakan dan sejenisnya. Saya sangat merasa sedih dengan keadaan ini, kalian sungguh tidak menghormati bapak saya sebagai pimpinan pesantren ini, kalian melanggar peraturan pesantren ini untuk tidak pacaran dan sejenisnya selama menjadi santri atau santriyah di sini. Bukankah kalian tahu bahwa salah satu peraturan di pesantren ini yaitu seluruh santri dan santriyah tidak boleh menjalin hubungan sejenis pacaran. Terutama bagi santri/yah yang baru masuk pesantren ini kalian harus tahu bahwa pesantren sangat melarang hubungan sejenis pacaran, bukan berarti melarang jatuh cinta atau menyayangi, tapi taatilah aturan pesantren untuk tidak merealisasikan cinta atau perasaan yang kalian rasa selama menjadi santri dan santriyah di pesantren ini”. jelas pembina panjang lebar. Seluruh santri dan santriyah yang merasa memiliki hubungan semua menunduk bersalah.
Pembina OSPA memberi tugas kepada pengurus OSPA bidang kemanana untuk mendata siapa saja santri dan santriyah yang menjalin hubungan, dan beliau juga menyuruh kepada seluruh santri dan santriyah untuk kumpul kembali di aula kodim setelah salat ashar nanti. Kaki beliau melangkah pulang.” Wallahul muwafiq Illa aqwamitthariq Wassalamu’alaikum wr.wb.”. sesudah pembina pulang seluruh santri dengan hati was-was dan dan cemas melangkahkan kaki meninggalkan aula. Pengurus OSPA bidang keamanan segera mendata ke setiap kobong, dan ternyata mayoritas santri dan santriyah justru memiliki hubungan kepada sesama santri maupun yang di luar pesantren.



* * *















Kisah yang baru



Hembusan angin di Albidayah kala itu terasa sangat sejuk saat semilirnya menyentuh ubun-ubun dan menyentuh ulu hati yang sedang dilanda kecemasan dan takut. Seluruh santri dan santriyah pesantren Albidayah sangat takut namanya di sebutkan sebagai santri/yah yang melanggar oleh pembina dan akan di hukum oleh pihak pesatren dan mereka sangat takut akan di olok-olokkan oleh seluruh santri. Saat pembina OSPA mulai memasuku area aula kodim, ketakutan seluruh santri dan santriyah membuncah, mereka nantinya harus memutuskan hubungannya dengan santri atau santriyah yang berhubungan dengan mereka.
Di dalam tradisi dunia pesantren rasa hormat memang sudah menjadi pola-laku yang lahir secara alamiah. Hal ini terjadi karena tatanan awal pesantren yang lebih menekankan etika moral terhadap orang ang lebih tua atau lebih banyak ke ilmuannya, terlebih lagi kepada para Asatidz/Asatidzah, Kiyai, dan seluruh keluarga Kiyai. Semuanya harus Takdzim, Taat, patuh, Hormat, dan tunduk kepada setiap titah sang kiyai dan keluarganya sebagai wujud pengabdian dan penghormatan. Hal ini bukan berarti terlalu mendewakan tetapi lebih kepada penghormatan dan pengabdian dari seorang santri kepada orang yang telah memberinya ilmu tanpa balas dan pamrih.
Takdzim para santri dan santriyah lebih di tunjukkan karena ingin mendapat barokah dan mendapat Ridho dari Kiyai. Mereka takut seandainya ilmu ang mereka dapatkan tidak bermanfaat nantina atau takut kualat atas prilaku yang tidak sopan jika mereka membangkang.
Raut wajah Irwan tidaklah secemas teman-temannya yang memiliki hubunga dengan santriyah. Ia tertawa lepas saat pembina membacakan nama-nama yang di setorkan oleh pengurus bidang keamanan lewat dua lembar kertas putih. Pembina membacakan nama-nama itu dengan senda gurau supaya santri dan santriyah tidak terlalu tegang karenanya. Namun tawanya terhenti ketika mendengar nama Sinta di sebut oleh pembina sebagai salah satu santriyah yang memiliki hubungan. Jantungnya berdegup lebih kencang saat nama kang Ega di sebut sebagai kekasih Sinta, ia sungguh tidak mengerti dengan keadaan itu, karena kang Ega merupakan satu-satunya kakak kelas yang paling ia percaya dan kang Ega jugalah salahsatu tempatnya mencurahkan isi hati dan memuinta saran atas perasaannya kepada Sinta. Sungguh ia merasa kecewa kepada Ega yang sudah ia anggap sebagai kakaknya, namun tega menghianati kepercayaannya. Seolah ada tombak yang sangat tajam menghantam jantung dan hatinya, ia sangat kecewa dan sangat merasa di khiananti oleh Ega yang sudah seperti kakak baginya.
Beberapa minggu setelah peristiwa yang menyakitkan itu terungkap, Irwan kini sudah merasa lebih tenang, setelah sebelumnya ia sempat merasa terpukul atas kejadian itu. namun hari itu hatinya di landa kecemasan yang cukup membuatnya berkeringat dingin. Sesekali ia menghela nafas begitu dalam dan perelahan melepaskannya. Hari itu pengumuman pengurus OSIS di sekolahnya akan segera di umumkan oleh pembina, Irwan dan seluruh temannya kelas sebelas IPA dan IPS berkumpul di ruang kelas sebelas IPS duduk manis menantikan kedatangan sang pembina yang akan segera datang ke ruangan yang ia rasa sangat panas saat itu.
Satu persatu nama-nama yang melaju menduduki kursi jabatan kepengurusan OSIS telah di sebutkan oleh pembinanya, Irwan tersentak kaget saat namanya di sebut sebagai salah satu pengurus baru OSIS periode selanjutnya. hatinya gemuruh, rasa kaget, rasa haru, dan bahagia bercampur di hatinya, ia seolah mendapatkan kepercayaan dirinya lagi karena ia mampu membuktikan kerja kerasnya untuk mendapatkan kepercayaan dari para guru dan teman-temannya di sekolah maupun di pesantren. Seusai pengumuman, semua keluar dari ruangan itu dengan rasa bahagia menyaksikan kebahagiaan yang di dapat Irwan.
Selang beberapa hari dari semenjak pengumuman kepengurusan baru OSIS, di pesantren beberapa jam lagi akan segera di umumkan kepengurusan OSPA yang baru di acara Tamrinan, namun Irwan tidak berharap ia masuk ke dalam kepengurusan tersebut karena ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai salahsatu pengurus OSIS di sekolahnya.
Tamrianut Tholabah, acara yang biasa di laksanakan dua minggu sekali itu terasa berbeda di rasa Irwan dan santri lainnya karena di acara itu akan di umumkan siapa Rois/ah dan para pengurus OSPA yang akan menduduki jabatan kepengurusan selanjutnya. Dari beberapa calon yang telah di pilih melalui pemilihan umum sebelumnya ada seorang calon rois dan roisah yang memang pantas menurut santri dan santriyah, tapi bukan itu saja yang menjadi bahan pertimbangan untuk menjadi seorang pemimpin, ada beberapa kriteria yang harus di penuhi dan setelah itu para calon tersebut akan di pilih juga oleh keluarga pimpinan pondok pesantren.
Suasana riuh semangat sesaat sebelum pembina OSPA menaiki panggung yang rapih dengan dekoran spesial yang telah di persiapkan pengurus OSPA yang akan segera turun jabatan sehari sebelumnya sebagai salah satu persembahan terakhir dari kepengurusannya. Adurrahman. Nama itu akhirnya menjadi pemimpin santri yang akan memimpin setahun ke depan setelah di umumkan oleh pembina. Hati Abdurrahman kaget bukan kepalang, sebab ia awalnya tak pernah berpikir untuk ingin menjadi seorang Rois walaupun dalam kepengurusan sebelumnya ia juga menjabat sebagai wakil Rois dua, namun akhirnya ia juga merasa bahagia dengan kepercayaan yang di berikan pihak pesantren dan para santri untuk menjadikannya seorang Rois yang akan memimpin setahun kedepan.
Rasa yang sama juga di rasakan oleh beberapa santri dan santriyah lain seangkatan dan adik kelasnya yang dinyatakan sebagai pengurus OSPA periode selanjutnya. Mereka merasa mendapatkan kepercayaan yang tak terduga dari keluarga pimpinan pondok pesantren, apalagi bagi mereka yang baru merasakan namanya masuk dalam deretan nama yang akan menjadi pengurus OSPA berikutnya.
Satu persatu nama-nama pengurus OSPA yang baru telah di sebutkan dari mulai jabatan tertinggi hingga bidang-bidang yang mengurusi semua kegiatan di pesantren. Abdurrahman sebagi Rois, sebagai wakilnya Syahid, sekretaris Ahmad, bendahara Irwan, kesantrian Riyan dengan wakilnya Ziyan, keamanan Dadan wakilnya Raihan, pendidikan Rahmat, Administrasi Yosef wakilnya Agis, kebersihan Mukti, dan yang terakhir bidang peralatan yang di pegang oleh Dendi. Semua bidang tersebut resmi di jalankan oleh mereka setelah pelantikan dan serah terima jabatan dari pengurus yang lama, yang akan di laksanakan malam berikutnya di tempat dan waktu yang sama yaitu di Aula kodim setelah slat Isya.
Sehari berikutnya di waktu dan tempat yang sama, mereka yang sebelumnya telah di nyatakan sebagai pengurus OSPA yang baru, yang akan mengabdi delama satu periode, telah bersiap untuk di lantik oleh pimpinan pondok pesantren Albidayah dan setelah itu akan di laksanakan serah terima jabatan dari pengurus lama kepada pengurus baru yang terpilih. Acara berlangsung hidmat, pak kiyai memimpin pembacaan janji-janji yang harus di ucapkan dan di laksanakan para pengurus OSPA yang baru, setelah perjanjian pak kiyai membacakan do’a supaya kepengurusan OSPA berikutnya lebih baik dan bertanggung jawab.
Kisah yang baru telah mereka mulai. Semua terasa berbeda bagi Irwan dan teman-temannya, Yudi merasa kan hal yang dahulu pernah di rasakan Irwan, dia merasa sangat terpuruk karena dari empat belas santri putra kelas sebelas hanya dia dan Rafi yang tidak masuk ke dalam kepengurusan OSPA. Irwan mengerti betul dengan apa yang sedang di rasakan Yudi, ia berusaha menghibur Yudi dengan menyemangatinya karena Yudi masih bisa berkiprah di sekolah sebagai pengurus OSIS dan Rafi sebagai ketua OSIS nya.
Perpindahan kobong tengah berlangsung semua santri dan santriyah sibuk mengurusi perpindahan kobongnya dengan penuh suka cita seperti yang tengah di rasakan Irwan dan sahabat-sahabatnya. Rasa suka cita jelas tidak di rasakan Yudi, karena dia harus tinggal di kobong enam bersama kelas sepuluh yang tidak terpilih sebagai pengurus OSPA bersama Rafi yang juga merupakan pamannya. Rasa terpuruk di dalam hatinya masih belum juga reda, ia sangat merasa terpuruk dan terbuang.
Irwan sungguh memahami apa yang tengah bergejolak di hati Yudi, ia terus berusaha membuat Yudi merasa lebih baik, dengan begitu Yudi cukup merasa terhibur dengan adanya Irwan yang bisa mengerti dirinya. Yudi berpikir mungkin yang di hadapinya ini lebih baik dari apa yang pernah di alami oleh Irwan dahulu sebelum mendapatkan semuanya seperti sekarang.
”Wan, aku sangat berterimakasih kepada kamu, kamu sungguh sahabat aku yang paling mengerti keadaanku” ungkap Yudi.
”iya, aku juga merasa beruntung punya sahabat seperti kamu Yud, dan aku juga senang jika aku bisa berarti bagi orang lain”
”mungkin apa yang aku rasakan saat ini jelas jauh lebih ringan daripada apa yang pernah kamu alami dulu. Maafkan aku ya...!”
”maaf untuk apa...?” tanya Irwan penasaran.
”ya karena dulu aku tak bisa membantu kamu saat kamu dalam kesedihan seperti aku sekarang”. Ungkapnya penuh rasa bersalah.
”aku sudah cukup senang saat itu kalian masih mau berteman dengan aku yang sedang merasa terpuruk”.
”sekali lagi terimakasih ya Wan, kalau gak ada kamu pasti aku tidak akan bisa menghadapi ini semua”.
”ya sudah kalau begitu ayo kita lanjutkan beres-beres lagi...!” ajak Irwan memberi semangat.
Persahabatan yang terjalin di antara mereka semua sangat erat selayaknya sebuah keluarga, karena mereka kerapkali saling merasakan dan saling pengertian satu sama lain dalam setiap masalah apapun. Irwan merupakan seorang anak yang pintar bergaul dan periang. Teman-teman Irwan kadang-kadang merasa aneh dan salut dengan Irwan yang selalu bisa memaafkan kesalahan oranglain sebesar apapun itu asal orang yang punya salah mau mengakui kesalahannya dan berusaha meminta maaf padanya.
Selain dikenal cukup ramah di mata teman-teman dan orang yang mengenalnya Irwan juga termasuk orang yang pintar menyembunyikan masalahnya dari teman-temannya karena ia tidak ingin sahabatnya ikut sedih atas masalah-masalahnya. Tak seperti Irwan di mata orang-orang yang mengenalnya, Irwan di mata orang yang belum mengenalnya biasanya di sebut sebagai orang yang judes karena raut wajahnya yang menunjukan keangkuhan, namun keangkuhan yang tergambar di wajahnya sesungguhnya bukanlah Irwan yang dalam kehidupan sebenarnya justru sangat baik, ramah, dan pengertian.

* * *

Do’a untuk Sinta



Tiga bulan telah berlalu sejak pergantian pengurus OSIS dan OSPA. Saat itu semua kelas sembilan MTs dan kelas dua belas MA/SMA tengah sibuk memepersiapkan ujian nasional yang akan mereka hadapi beberapa hari lagi. Ada Do’a di setiap ia ingat UN tidak lama lagi akan ia hadapi,”ya Allah berilah kemudahan dalam setiap langkahku untuk masa depan” hatinya berdesir saat Do’a itu ia panjatkan dalam hati dan lisannya. Sinta sungguh takut dengan hasil UN yang akan ia dapatkan nantinya, ia sangat takut kejadian yang tidak di harapkan akan menderanya.
Pagi itu semua terasa sepi, hanya suara riuh santri dan santriyah kelas sembilan yang terdengar mempersiapkan UN hari pertama. Seluruh santri selain kelas sembilan, kelas dua belas semuanya dan sebagian kelas sebelas yang sebagai pengurus telah berlibur di rumahnya masing-masing, itu dilakukan pihak pesantren supaya seluruh kelas sembilan dan kelas dua belas bisa konsentrasi belajar untuk menghadapi UN. Agar hasilnya bisa memuaskan dan semua lulus.
Waktu dhuha telah tiba ketika mentari mulai memancarkan pesonanya.Irwan keluar dari kamamya dengan membawa mushaf. Ia melangkahkan kakinya menuju mesjid di dekat rumahnya. Di mesjid ia salat empat raka’at dengan dua salam kemudian ia membaca Al-Quran dengan suara pelan.seusai salat Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi menghayati dan mentadabburi apa yang dibacanya.Pikirannya tetap saja tertuju pada Sinta.
Ia sendiri tidak tahu kenapa satu minggu ini hati dan pikirannya tidak bisa lepas dari Sinta padahal ia ingin sekali waktu liburannya ia pergunakan untuk mengajar santri yang belajar mengaji di pengajian yang di asuh ayahnya. Irwan tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada Sinta itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan.Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuncah, Berbunga -bunga. Bahkan nyaris tak bisa dikuasainya. Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa.
Yang ada dalam pikiran dan hatinya selalu saja Sinta Wajah Sinta, Suara Sinta,. Langkah kaki Sinta Budi bahasa Sinta. Gaya bahasa Sinta. Tingkah laku dan perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Itu semua telah membuat hati Irwan begitu kagum padanya. Ah, tak hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera-dera hatinya, entah apa namanya. Ia merasa, di dunia ini tak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendampinghidupnya, menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, selain gadis yang sedang menghadapi UN itu.
Setiap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya sela lu
bergetar. Berdesir-desir. Disebut oleh siapa saja.Dan setiap kali ia ingat nama itu rasa cintanya bertambah-tambah.Ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti itu tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Quran dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya Sinta hinggap lagi di kelopak matanya.Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelebatan bayangan, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya, justru semakin jelas bayangan Sinta bersemayam di benaknya. Ia benar-benar tak berdaya.
Dalam ketidak berdayaan, kehadiran bayangan Sinta malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikrnatan, Bagaimana tidak. Saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca, saat itu justru muncul bayangan yang tidak-tidak di benaknya: "Seandainya ia telahmenikah dengam Sinta, lalu di penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Quran bareng Sinta. Sinta membaca dan Ia menyimak sembari membetulan bacaannya ketika salah.Alangkah indahnya. Alangkah indahnya.”
Ia memejamkan mata. Setetes airmata jatuh ke mushaf yang ia baca.Ia sesenggukan. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.
"Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa maka ampunilah dosa hamba-Mu yang lemah ini."
Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahwa
Allah Swt. Mengampuni dan mengasihi orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya. ”dan Ya Allah aku mohon linungilah orang-orang yang aku cintai dan aku mohon berikanlah kelancaran kepada gadis yang aku cintai, agar hasil ujiannya mendapatkan hasil yang baik”. Hatinya bergetar, berdo’a untuk keberhasilan Sinta.



* * *





Suara syair-syair yang mengisahkan sejarah para nabi itu bergema di pesantren Albidayah. Sinta membangunkan teman-temannya kemudian ia menuju mesjid untuk salat Tahajud. Ketika ia masuk mesjid, ia mendapati April sedang bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak-isak, april telah terbangun lebih dulu darinya. Ia tidak ingin mengganggu sahabatnya itu. Ia salat di belakang April dengan khusuk.
Para santriyah yang ada satu-persatu mulai memasuki mesjid, dan tak lama sesudah seluruh santri dan santriyah memasuki mesjid, seorang santri yang biasa adzan mengumandangkan adzannya dengan suara indahnya yang mampu menggetarkan setiap haba yang mendengarnya. Seusai salat Qobliyah dan membaca do’a bersama Ikomah di kumandangkan dan pak kiyai menempati tempatnya di depan para makmum. Seluruh santri menghadap kiblat membaca takbiratul ikhram mengikuti pak kiyai yang mengimami salat subuh waktu itu. Semua santri dan santriyah menunduk khusuk, mereka membaca bacaan salat dengan penuh penghayatan.
Pak kiyai membaca Qunut di ikui amin oleh seluruh sanri dan sanriyah dengan begiu khusuk dan dan penuh penghayatan. Pada saat sujud terakhir seluruh santri dan santriyah berdoa dalam hati masing-masing untuk kelulusan semuanya.
Dan seusai salat subuh berjamaah, dan wiridz pak kiyai mengajak seluruh santri dan santriyah kelas sembilan MTs. Dan kelas dua belas SMA/MA untuk berdo’a bersama, dalam do’anya pak kiyai mengharapkan dari Allah semua yang terbaik di berikan kepada mereka yang telah selesai menghadapi ujian nasional selama satu minggu. Dengan penuh rasa hormat dan cinta para santri yang ada mencium tangan pak kiyai setelah selesai berdo’a bersama.
Sinta dan teman-temannya kelas sembilan dan kelas dua belas membersihkan lingkungan pesantren bersama-sama pada minggu pagi itu sebagai sambutan untuk seluruh santri dan santriya yang siang nanti akan kembali ke pesantren setelah seminggu berlibur di rumah masing-masing. Seolah ada semangat yang baru di benak mereka yang telah menyelesaikan ujiannya. Mereka begitu semangta membersihkan lingkungan pesantren, dengan senyum dan canda mereka menyelesaikan tugasnya. Akhirnya sebelum jam delapan semua telah selesai dan bersih. Rasanya puas mereka membereskan pesantren dengan penuh semangat dan cinta terhadap pesantren itu sendiri Sebagai rasa terimakasihnya.
Jam delapan empat puluh Sinta pergi madi, dia sepertinya yang paling semangta menyambut kembalinya semua santri dan santriah. Seusai mandi dia bersegera pergi kemesjid untuk melakukan salat duha yang rutin ia kerjakan selagi libur sekolah.
Setengah dua belas siang, Irwan sudah mengemasi semua yang akan ia bawa ke pesantren ke dalam tas punggungna, ia senang karena hari itu ia akan kembali berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang selama satu minggu berpisah tak bertemu. Seusai salat dzuhur irwan mulai berpamitan kepada seluruh keluarganya, lagkah kakinya menderap memijak tanah merah kehitaman di kampungnya. Ia segera menaiki motor ayahnya sampai terminal, dan tanpa menunggu lama bus yang akan mengantarnya ke pessantren segera menjemput.
Sekitar dua jam perjalanan akhirnya jasadnya sampai di depan sebuah gerbang besi yang ber cat warna hijau, ia masuk dengan langkah kaki yang ringan penuh semangat. Kerinduan di hatinya membuncah. Ia segera menghampiri sebuah daun pintu dan kemudian ia membukanya dengan perlahan.
”Assalamu’alaikum...”
”Wa’alaikumsalam...!” serentak menjawab.
Dengan senyum mengembang Irwan di sambut hangat gelak tawa sahabat-sahabatnya. Tanpa sungkan mereka langsung menanyakan apa yang Irwan bawa di dalam tasnya.
”Wan, mana Adrahinya...?” kebiasaan mereka menanyakan oleh-oleh dengan bahasa khas pesantren.
”O, ada tenang aja...ada kok...sok atuh gera buka...!” serunya dengan semangat mempersilahkan apa yang ia bawa untuk teman-temannya.
”eh,kalian mau makan nasi, atau mau makan nanas dulu...?” tanya Yudi sambil menunjukan bawaannya, beberapa buah nanas khas Subang, yang ia bawa beserta beberapa bungkus keripik singkong.
”ah, mending makan nasi yang Irwan bawa dulu lah, aku sudah lapar nih..!” sahut Dadan.
”iya benar sesudah makan baru makan nanas sebagai pencuci mulut. Ayeuna mah sok gera amparkeun eta timbelna” Rahman ikut mendukung.
”mawa sambelna teu Wan?” tanya Riyan.
”hilap, teu ka buru. Sok we lah tuang nu aya..!”
Tawa mereka lepas seakan tak punya beban hidup yang berarti. Gelak tawa senda gurau menghiasi setiap episode kehidupan mereka di pesantren. Kesan pesantren yang seolah angker dan menakutkan karena peraturan yang super ketat sungguh tidak ada di pesantren Albidayah. Meskipun peraturan begitu banyak, namun jika tidak di langgar maka tidak akan membuat hidup sulit dan pesimis.
Di kobong putri dan kobong-kobong yang lainnya juga telah ramai kembali oleh canda tawa santri dan santriyah yang berbagi cerita liburan dan berbagi makanan bawaan khas masing-masing daerahnya. Ada yang membawa Wajit dan kerupuk khas Cililin, ada yang membawa nanas khas Subang, ada yang membawa nasi lengkap dengan sayurnya khas Lembang, ada yang membawa dodol khas Garut, dan lain sebagainya.
Setelah salat Ashar seluruh santri dan santriyah di perintahkan untuk berkumpul di aula qodim untuk di periksa siapa yang telat, dan siapa yang belum datang ke pesantren dan kemudian mendapat hukuman dari pihak pesantren. Pembina OSPA memasuki Aula qodim, suasana riuh dengan canda tawa tiba-tiba berubah menjadi kesunyian tanpa komando. Satu suara yang menguasai tempat itu, hanya pembina OSPA dan sesekali Rois/roisah dan beberapa Staf pengurus OSPA yang berugas dan beranggung jawab dengan kepulangan santri/ah berbicara memberikan atau menyampaikan alasan-alasan dari para Santri/ah ang terlambat dan belum datang.
Suasana kembali ramai saat pembina mulai keluar dari aula tersebut dan menyudahi kumpulannya. Ada yang keluar dari aula itu dengan senyum dan penuh canda, namun ada juga yang keluar dari aula itu dengan penuh rasa kecewa karena harus mendapatkan hukuman karena keterlambatannya datang ke pesantren. Suasana seperti itu sudah menjadi rutinitas pesantren setelah ada kumpulan yang membahas masalah pelanggaran santri sekecil apapun. Itu semua di lakukan pihak pesantren supaya para santri dan santriyahna tumbuh menjadi orang-orang yang penuh tanggung jawab dalam kehidupannya di masyarakat.















Hanya sebatas mimpi

Langkah kakinya mendepar menuju kelasnya. Tak pernah ia terlambat masuk kelas, ia adalah salah satu anak yang di siplin dengan selalu berusaha datang lebih awal sebelum waktu pelajaran di mulai. Suarana membelah kesunyian di dalam kelasnya karena belum satupun orang yang menemaninya di kelas itu. Sayup-sayup terdengar suara beberapa sisiwa/i MA dan MTs yang mulai berdatangan ke sekolah dengan penuh semangat dan perlahan suasana sekolah tak lagi sunyi seperti saat baru Irwan yang ada di sekolah itu.
Suasana sekolah tampak memang tak seperti biasanya, ada beberapa ruang kelas yang nampak kosong karena telah di tinggalkan para penghuninya yang telah selesai melaksanakan ujian nasional. Begitupun hatinya yang seolah kosong dan di sesaki rasa rindunya kepada gadis cantik yang menggetarkan hatinya. Sinta, memang mungkin tidak akan pernah lagi datang ke sekolah itu untuk belajar seperi biasa. Hatinya hampa, ia tahu mungkin beberapa minggu lagi ia akan benar-benar kehilangan sesosok wajah yang selalu membayanginya di setiap kesempatan. Gadis yang telah membuatnya tak bisa tidur lelap karena menahan kerinduan.
”mulai saat ini mungkin aku hanya bisa merindukannya saja” gumam Irwan pelan sambil menatap penuh bayang ke arah kelas yang menjadi kelas Sinta.
”tidak!, ini hanya sementara” sahut Yudi yang memperhatikan Irwan sejak tadi.
”maksud kamu?” keningnya mengkerut penuh tanya.
”iya..aku dengar dari beberapa santriyah, Sinta akan melanjutkan sekolahnya di Madrasah liyah ini dengan beberapa temannya yang lain”
”wah...?”nadanya riang.
Andai semua kabar itu benar adanya, mungkin Irwan bisa tetap semangat untuk melanjutkan hidupnya di Albidayah. Ia sangat yakin bahwa Sinta adalah salah satu pendorong masa depannya selain cita-cita dan dorongan keluarganya. Sepanjang pelajaran ia terlihat lebih bersemangat karena kabar yang di sampaikan Yudi tentang Sinta yang akan melanjutkan sekolahnya di MA Albidayah.
Sudah lebih dari dua minggu Irwan dan Sinta tidak bertemu. Dadanya terasa sesak menahan kerinduan yang begitu menggebu, ” ya Allah izinkanlah aku melihat wajah cantiknya untuk sekedar melepas rindu ini” hatinya berdo’a mengharap pertemuan itu bisa terjadi. Hingga sore hari tiba, Irwan masih juga belum melihat Sinta lewat di depan matanya walaupun dari kejauhan. malam mulai memancarkan auranya, sang bulan mulai memancar dengan malu-malu.
”hey, sudah jam sepuluh...kamu mau tidur kapan?” tegur Yudi yang sejak tadi menemani Irwan di teras mesjid menyaksikan sinar sang rembulan.
”O...iya yuk masuk...!” tangannya menarik Yudi melangkah menuju kobong mereka.
Perlahan pintu kobong mereka buka dengan berusaha supaya teman-temannya yang lain tidak ada yang terbangun dari tidurnya. Irwan dan Yudi tidur di sebelah Riyan yang sudah nampak lelap. Matanya terpejam tak lama setelah bibirnya membacakan do’a sebelum tidur.
Sinta datang menghampiri Irwan yang sedang asyik duduk sambil membaca sebuah buku. Sinta membacakan puisi cinta di hadapannya, setelah selesai puisi ia baca keduanya pergi bersama-sama menuju taman yang terlihat sangat indah dan sejuk, seperti taman syurga yang selama ini di ceritakan pak ustadz setiap menerangkan pahala-pahala orang-orang yang berbuat kebajikan yaang akan di ganjar dengan kehidupan abadi di syurga dan di sertai bidadari-bidadari lengkap dengan taman-taman syurga yang indahnya tidak pernah bisa di bayangkan. Keduanya bermesraan penuh cinta dan kasih, seolah tak ada lagi aturan pesantren yang menghalangi keduanya untuk saling mencurahkan kasih sayangnya satu sama lain.
Suara adzan Subuh membangunkannya, ia terbangun ketika semua temannya telah terbangun lebih dulu darinya dan tidak ada di kobong itu. Ia merasa begitu heran dengan apa yang ia lalui sebelumnya bersama gadis impiannya, ia harus menerima kenyataan bahwa semua yang ia lakukan bersama Sinta di taman itu hanyalah mimpi, dan sebagai wujud dari kerinduannya kepada Sinta. Sungguh hatinya merasa bahagia walaupun itu hanya sekedar mimpi, mungkin itu adalah jawaban atas do’anya yang meminta kepada Allah untuk mempertemukannya bersama Sinta.
”ya Allah, betapa bahagianya aku bisa kau izinkan aku beremu dengan Sinta walau pun hanya sekedar dalam mimpi. Semoga semua ini suatu hari nanti bisa menjadi kenyataan yang bisa mendapatkan Ridha darimu” do’anya seusai menyadari mimpinya.
Sinta kini bukan hanya menjadi bagian dari bayangannya saja, tapi sinta sungguh sudah mengalir di dalam darahnya menyatu dengan nafasnya menjadi bagian dari debaran jantungnya. Setiap perasaan cinta itu muncul di hari-harinya ia selalu merasa bahagia dan senyumnya merekah seolah Sinta memang benar-benar hadir di depan pelupuk matanya.
peraturan pesantren yang sangat melarang adanya hubungan sejenis pacaran membuatnya hanya bisa hidup dalam bayangan semata. Logis memang pihak pesantren melarang hubungan itu ada,alasannya karena pihak pesantren tidak ingin ada sesuatu hal apapun yang akan menghacurkan masa depan santri dan santriyahnya minimalselamadi pesantren. Realitas kehidupan di jaman sekarang telah memberi pelajaran pada kehidupan pesantren, betapa pentingnya menjaga kehormatan.pergaulan bebas kehidupan modern jelaslah membuat para santri ingin mengenalnya lebih dalam, tapi mereka juga harus tahu posisi mereka sebagai santri yang memiliki tugas sebagai orang yang harus menyebar luaskan ajaran Islam di sertai ahklak mereka yang mulia juga.
Entah rasa itu nyata ia rasakan atau itu hanya perasaan sesaat yang suatu saat jika ia beranjak dewasa akan sirna dengan sendirinya. ”tidak” Irwan sangat berharap rasa itu tidak akan pernah hilang dari hatinya,biar saja itu hanya jadi perasaan yang akan selalu ia simpan di dalam kotak berlapis emas di dalam hatinya yang paling dalam. Biar saja orang mau bilang apa tentang dirinya yang menjadi seorang pecundang yang tak mampu mengutarakan isi hatinya. Ia yakin untuk tetap menyimpan rasa cinta itu di hatinya.
”ya Allah andai rasa ini memang datangnya dari-Mu,pasti kau akan memberikan juga jalannya agar aku tidak terjebak pada lubang penderitaan yang di hasilkan oleh karenanya”.
Rasa cinta itu makin menyusup halus ke dalam hatinya terlebih lagi karena ia sungguh tidak sanggup andai Sinta tidak ada lagi di pesantren itu. Beberapa minggu lagi Sinta akan segera meninggalkan pesantren Alidayah dan mungkin untuk selamanya. Hatinya merasakan getir yang teramat akut, ia tak sanggup memayangkan akan kehilangan Sinta untuk selamanya.
Hatinya bergolak. Ada perasaan ingin segera mengutarakan perasaan itu kepada Sinta.ia ingin Sinta tahu derita cinta yang ia rasakan atas perasaannya kepada Sinta yang ia pendam selama beberapa tahun lamanya. Rasa yang membuatnya tidak pernah tenang sebelum bisa melihat Sinta, rasa yang membuat hatinya gemetar di saat ingat namanya,rasa yang selalu membebaninya di setiap kesempatan, rasa yang terkadang memberinya perasaan cemas karenanya,rasa yang terkadang membuatnya bahagia. Andai bukan sekarang waktunya untuk mengungkapkan isi hatinya kapan lagi? Sinta beberapaminggu lagi akan meninggalkan pesantren itu mungkin untuk selamanya.
Hentakan kakinya membawanya kekobong delapan tempat ia menyimpan segala sesuatu yang menyangkut dirinya. untuk mengambil sebuah bolpoin dan secarik kertas yang kemudian ia curahkan segala perasaan yang selalu membuat getaran di hatinya kedalam kertas yang robek dari tengah-tengah buku tulisnya



* * *











Surat cinta untuk Sinta



Mentari begitu terik menyilaukan setiap mata yang memandangnya. Jam setengah dua belas siang seluruh santri dan santriyah kelas tujuh dan kelas delapan MTs. Dan kelas sepuluh dan kelas sebelas MA pulang dari sekolah untuk beristirahat,makan,dan salat.
”teh Sinta ini ada titipan...!” ketika Sinta sedang asyik membaca sebuah buku sendiri di kobongnya, tiba-tiba seorang santriyah masuk ke kobongnya kemudian memberinya sebuah amplop.
”apa ini Rin..?”
”baca saja,nanti juga teteh teteh baca, teteh akan tahu apa dan dari siapa itu” Rina segera meninggalkan Sinta sendirian.
Sinta begitu penasaran dengan amplop yang di berikan Rina. ”Allahu Akbar....” kumandang adzan membuat Sinta menunda rasa penasarannya untuk segera membuka amplop tadi. Ia segera ber wudlu dan bergegas ke mesjid untuk berjama’ah salat Dzuhur.
”Sin,mau makan sekarang?” tanya April.
”duluan saja lah...nanti aku nyusul...!”jawabnya
”ya sudah aku duluan...!”
”ya!”
Rasa penasarannya timbul kembali tatkala tangannya menggenggam sebuah amplop yang di titipkan seseorang melalui Rina adik kelasnya. Seusai salat dzuhur biasanya ia pergi ke kantin pesantren untukmakan siang, namun siang itu rasa laparnya seolah sirna karena rasa penasaran yang timbul dalambenaknya.
Setelah melepaskan mukenanya, Sinta langsung membuka amplop yang ia terima beberapa saat yang lalu. dengan perlahan-lahan dan penuh kelembutan penutup amplop itu ia buka. di dalamnya ada dua lembar kertas yang di lipat rapih oleh penulisnya,dan terisi penuh oleh tulisan seseorang. Hurup-perhurup ia baca dengan seksama, ia mainkan imajinasinya bersamaan bibir mungilnya berbisik membacakan bait-bait yang tertulis indah d atas kertas yang ia pegangi. Ia mencoba menerjemahkan maksud-maksud yang tertuang dalam kertas itu.
Nafasnya menarik panjang udara yang ada di sekelilingnya. Lirih. Sinar mentari yang menyelinap dari lubang-lubang jendela yang di tutupi gorden menemaninya mencoba menerangi sinta membaca setiap kalimat.
Hening di tengah gemuruh para santriyah.
Albidayah, 20 Juni, 2008

Assalamu’alaikum Wr.Wb...!

Teruntuk Sinta Fitri Annisa di tempat

Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari segala kemungkinan yang akan membuat kita terjerumus pada lubang fitnah. Sesungguhnya aku tidak tahu darimana aku harus memulai, Sebelumnya mungkin aku ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan diriku yang menulis dan mangirimkan surat ini untukmu. Melalui kertas ini aku sangat berharap semua beban di hatiku bisa berkurang.
Jujur di hatiku kini berbaur sejuta perasaan ragu, bingung, takut, khawatirdan lain sebagainya.aku bingung harus memulai darimana?. Aku sungguh tak tahu harus berkata apa?.rasanya sungguh berat aku untuk mengatakan satu kata saja dari perasaanku. Tapi apa yang harus aku lakukan jika bukan melalui surat ini?. Rasa di hatiku ini sudah begitu lama memberikan derita dan beban yang sangat menyiksa, diri ini tak sangguplagi aku kendalikan. Aku begitu ragu dengan kebenaran yang aku rasakan saat ini. ke raguanku ini begitu hebat mendera hatiku karena apa yang aku rasa ini mungkin tidak sepantasnya aku rasakan padamu.
Sekian lama aku tahu dirimu namun selama itu juga aku mencoba mengenal dirimu lebih jauh. Entah mengapa waktu dua tahun rasanya belum cukup untuk mengenal dirimu apa lagi untuk bisa tahu isi hatimu. Sesekali aku mencari tahu dari beberapa temanku tentang dirimu, namun semakin banyak juga yang aku tidak tahu tentang mu. Semakin hari jiwaku semakin merindukan wajahmu,entah perasaan apa ini namanya?, aku tak sanggup untuk menafsirkan perasaan ini terlampau jauh,aku takut perasaanku ini salah.
Semakin aku berusaha menafikan perasaan ini semakin besar juga rasa rindu yang hinggap di hatiku. Terkadang tanpa sepengetahuanmu aku mencuru pandang untuk sekedar melihat wajahmu untuk mengurangi kerinduan di hatiku ini. Andai kau juga rasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan mungkin kau akan lebih bijak mengerti perasaanku ini. Memang terasa lucu. Kita sudah kenal sejak dua tahun yang lalu, namun aku baru berani mengirinkan surat ini sekarang.
Sebelumnya aku meminta supaya Sinta mau untuk melapangkan hati. Maafkanlah diriku yang telah lancang ini. Rasa takut di jiwaku ini begitu besar. Aku tak ingin terlambat lebih jauh lagi, aku tak ingin perasaan ini hanya akan aku pendam seumur hidupku. Aku ingin kamu tahu seberapa besar beban yang aku tanggung selama dua tahun ini. Aku ingin kamu bisa bijak menghadapi apa yang akan aku katakan nantinya.
Aku sadar sungguh sangat kecil kesempatanku untuk bisa memiliki hatimu karena aku juga tahu bahwa dirimu telah memilih kang Ega sebagai tambatan hatimu tapi aku rasa tak ada salahnya aku mengungkapkan perasaanku ini kepadamu. Aku tidak berharap banyak untuk bisa memiliki dirimu, aku hanya sedikit menyimpan harapan lewat surat ini supaya kamu tahu perasaanku dan bersedia memberi aku sedikit tempat di hatimu. Aku ingin kamu tahu semua beban perasaanku padamu dan aku ingin kamu bisa menyisakan perasaanmu untuk ku sebagai balasan atas perasaanku.
Sesuatu yang harus kamu tahu, aku menulis surat iini dengan setulus hati berharap keridhoan Allah SWT. Dengan segenap jiwa aku korbankan rasa takut perasaan iini akan bertepuk sebelah tangan. Selama dua tahun aku menyimpan perasaan ini sendirian, sampai akhirnya aku mampu untuk memberanikan diri menulis surat ini untuk mu. Dan andainya memang kau tidak inginkan rasa ini juga ada di hatimu, aku akan tetap menyimpan perasaan ini di dalam hatiku yang paling dalam bersama bayanganmu.
Sinta, aku hanya manusia biasa yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidupku, aku membutuhkan kasih sayang, cinta dan perhatian. Aku manusia yang di bekali hati dan perasaan oleh Allah SWT. Sampai akhirnya aku di karuniai perasaan yang sungguh suci dan halus menyelusup ke dalam hatiku ini. Rasa ini mungkin adalah rasa cinta yang saat ini aku rasakan padamu. Cinta? Ya aku yakin inilah perasaan cinta yang aku rasakan padamu.
Bukan tanpa sebab aku kirimkan surat ini padamu hari ini, dengan penuh ketakutan aku kirimkan surat ini untukmu, aku takut kehilanganmu, aku takut tidak bisa melihat wajahmu lagi karena beberapa minggu lagi aku tahu kamu akan meninggalkan pesantren ini mungkin untuk selamanya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama. Namun tak dapat aku menafikan perasaan untuk memilikimu bukan hanya hati tapi juga ragamu. Namun aku juga tahu peraturan di pesantren ini adalah tembok terbesar yang menjadi hijab untuk perwujudan cintaku padamu.
Entah apa yang begitu membuatku tergila-gila kepadamu?. Mungkin karena sifatmu yang selalu terlihat sempurna di mataku, atau mungkin karena kecantikanmu saja?. Sungguh dirimu telah mengalir di dalam darahku, menyatu dengan nafasku dan kamu juga telah menjadi bagian dari separuh detak jantungku. Isyarat-isyarat cinta yang aku berikan selama ini apakah tidak pernah membuatmu mengerti dengan maksudku, ataukah kamu memang berusaha untuk menafikan semuanya untuk tidak memberi harapan kepadaku?.
Kiranya cukup itu saja yang ingin aku ungkapkan padamu lewat surat ini. Aku harap ungkapan dalam surat ini tidak membuat sikap mu berubah memburuk padaku dan aku juga berharap kamu tidak akan membenci aku karena perasaan kita bertentangan. Dan aku sangat berharap balasan di kemudian hari atas surat yang aku tulis ini.

Wallahulmuafiq illa aqwamitthariq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb...!


Seseorang yang mencintaimu sejak lama.
Muhammad Irwan Febriyan

NB: setelahnya Sinta membaca surat ini saya harap sobek dan buanglah jauh-jauh, karena jika tidak, saya takut akan terjadi sesuatu kepadamu maupun kepadaku.

Dengan gemetar Sinta perlahan membaca setiap kata yang di tulis Irwan dalam suratnya.tak ada satu huruf pun yang ia lewatkan. Dengan hati gemuruh Sinta membaca setiap bait dengan sesekali ia beristighfar di dalam hati. Ada perasaan senang dalam hatinya. Sungguh andai surat itu datang beberapa bulan yang lalu sebelum Ega terlebih dahulu mengungkapkan rasa cintanya dan Sinta tak mampu menolak cinta Ega karena ia ingin melupakan perasaannya kepada Irwan dengan mencoba mencintai Ega meskipun kadang hatinya merasa berdosa harus membohongi Ega atas perasaannya.
”ya Allah maafkan hambamu ini yang terpaksa harus membohongi dua orang yang begitu mencintai ku. Sungguh aku menyesal atas sikap yang dulu aku ambil untuk mengingkari perasaanku kepada Irwan aku harus membohongi orang yang juga mencintaiku seperti Ega”.
Sinta seolah ingin berteriak sekeras-kerasnya atas semua ini. ia sangat kesal atas sikap Irwan yang begitu pengecut dan lemah. Sinta sungguh ingin menerima cinta Irwan, tapi saat ini dia tidak ingin menyakiti hati Ega yang juga begitu mencintainya meskipun hatinya tidak mampu berdusta atas perasaannya kepada Irwan yang sesungguhnya bersambut atas apa yang di rasakan Irwan. Namun ia juga tak mungkin menyalahkan Irwan sepenuhnya, karena ia pun salah dalam hal ini, ia terlalu terburu-buru menerima Ega padahal saat itu hatinya sedang menunggu kata cinta dari Irwan.


* * *

Tatapan terakhir kah?


Hampir semua acara kegiatan seperti syukuran, Ta’aruf, dan sejenisnya di pondok pesantren selalu di serahkan kepada seluruh santri terutama pengurus OSPA untuk mengelola semua kegiatan yang di selenggarakana oleh pihak pesantren sebagai panitia.
Pagi itu pesantren mengadakan Tasyakuran dan pelepasan untuk semua kelas dua belas MA, dan kelas sembilan MTs. Setelah selesai acara tasyakuran maka seluruh kelas sembilan dan dua belas dinyatakan sah sebagai alumnus pesantren, MA, dan MTs Albidayah. Pagi itu semua pengurus OSPA dan beberapa santri dan santriyah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang sibuk menyelesaikan dekorasi yang semalam belum selesai meskipun di kerjakan sampai adzan subuh tiba, ada yang sibuk membantu memasak di dapur, ada yang sibuk mempersiapkan meja untuk perasmanan, ada yang sibuk sendiri menghapalkan pembukaannya nanti di panggung sebagai MC, ada yang sibuk menyiapkan baju-baju untuk tampil sebagai pengisi acara, dan lain sebagainya.
MC mulai membuka acara dengan mengajak seluruh yang hadir di aula madrasah membacakan ”Basmallah” bersama. Para santri yang berperan mulai menaiki panggung secara beraturan setelah nama atau kelompok mereka di panggil terlebih dahulu oleh MC. Beberapa kali Irwan dan seangkatannya naik ke panggung sebagai panitia pelaksana, tim Qasidah, tim teater, Qori’, dan paduan suara. Suasana begitu hidmat, suara riuh seperti yang selalu di dengar saat Tamrinan saat itu benar-benar tidak terdengar. Entah karena seluruh keluarga pondok pesantren hadir di sana ataukah karena acaranya yang tidak biasa?.
Suasana yang ada di aula itu entah apa namanya. Kebahagiaan, keharuan, kesedihan, dan penyesalan bercampur di aula itu. Suasana jelas di rasakan setiap orang tua yang hadir karena anak-anak mereka bisa lulus dengan baik. Keharuan begitu terasa juga karena perpisahan itu adalah titik akhir dari sebuah perjuangan menimba ilmu di pesantren itu. Hati Irwan entah merasakan apa atas semua itu. Hatinya bergetar tatkala pak kiyai memberikan sambutannya di sertai derai airmata yang begitu tulus melepas anak-anaknya pergi dari sisinya.
Detak jantungnya bertambah cepat saat pak kiyai beserta keluarga pesantren mempersilahkan seluruh alumnus baru itu unuk bermusofahah dengan beliau beserta keluarga dan mempersilahkan setiap orang tua untuk membawa pulang anak-anaknya yang baru saja menyandang predikat alumnus pesantren Albidayah setelah selesai menyantap hidangan yang di siapkan oleh para panitia. Saat itu Irwan seolah akan kehilangan sebagian nyawanya, ia terdiam membisu.
”Wan, kenapa kamu?, sakit?” tanya Yudi yang khawatir dengan keadaan Irwan yang sejak tadi terdiam.
”tidak...!, aku tidak apa-apa...!” ia mengelak, tak ingin sahabatnya tahu dengan apa yang sedang ia rasakan.
”ya sudah kalau memang tidak apa-apa...!, tapi kalau kamu sakit lebih baik istirahat saja di kobong” Yudi melanjutkan sisa tugasnya sebagai panitia dan meninggalkan Irwan sendiri duduk di ruang kelas sebelas.
Sejak selesai acara, Irwan tidak melepaskan sedikitpun pandangannya dari sosok seorang Sinta. Matanya mengikuti kemanapun Sinta melangkah. Senyum sinta saat berfoto dengan teman-temannya membuat pikiran Irwan sementara terobati. Bibirnya ikut tersenyum, ia seolah tak ingin melewatkan kesempatan itu. Itu mungkin untuk terakhirnya seorang Irwan meandang senyum merekah dari bibir mungil seorang Sinta. Entah apa yang sedang bersarang di dalam otaknya, ia sadar bahwa Sinta akan pergi beberapa saat lagi tapi ia masih mampu untuk tersenyum.
”ya Allah izinkanlah aku berjumpa kembali dengan orang yang sudah membuat aku begitu tergila-gila dengannya suatu hari nanti, biarkanlah dia tetap hidup di hatiku untuk selamanya. Andai memang takdir-Mu tak kan membawa kami bertemu kembali. Izinkanlah aku menyimpan cinta ini untuk selamanya”
Mata Sinta sempat menoleh ke arah dimana Irwan tengah berdiri sesaat sebelum mobil yang di kendarai ayahnya melaju membawa jasadnya pulang. Hatinya berdesir melihat tatapan Irwan yang penuh dengan cinta yang begitu tulus di berikan untuk dirinya, tak tega rasanya ia meninggalkan Irwan tanpa dirinya. Rasa kesal sempat pula datang menghinggapi perasaannya. Ia masih kesal dengan sifat Irwan yang pengecut, namun ia juga bahagia karena perasaannya berbalas untuk Irwan.
Beberapa saat sesudah mobil yang di tumpangi Sinta melaju, Ega mengikuti jejak mobil itu. Jantungnya berdegup sangat cepat, entah apa yang ia rasakan melihat semua itu. Cemburu mungkin itulah perasaan yang sedang menyesakan dadanya meskipun Sinta dan Ega tidak duduk bersebelahan dalam satu mobil. Ia sadar seharusnya perasaan itu tidak perlu adanya karena Sinta dan Ega memang sepasang kekasih. Sungguh inikah cinta, inikah cemburu, inikah ketulusan itu?. ”Bukan...!” hatinya mengelak atas apa yang sedang di rasakannya.
”sudahlah...! jika kalian berjodoh, suatu saat pasti akan berjumpa kembali” Riyan menenangkan.
”ya...mudah-mudahan”
Keduanya pergi bersamaan saat mobil Sinta dan Ega telah menghilang di balik kejauhan jalan. Langkahnya terasa hampa dan tak menyentuh tanah yang ia pijak. Dua tubuh itu menghilang termakan mulut pintu kobong delapan yang masih sepi di tinggal para penghuninya.
”Assalamu’alaikum!” ucap Yudi di ikuti Rafi, Dendi, dan Ziyan di belakangnya.
”Wa’alaikumsalam!”suara Riyan dari dalam ruangan itu.
”gimana udah beres?” tanya Riyan
”belum!, masih berantakan” jawab Dendi
”nanti setelah Salat dzuhur di lanjutkan lagi” sambung Yudi.
Wajah-wajah itu terlihat begitu lemah, kusut, capek, dan lemas. Irwan masih membisu di tengah sahabat-sahabatnya yang baru saja masuk kobong itu. Ia menyenderkan tubuhnya di atas sebuah dinding tembok ruangan itu.
”Allahu Akbar.....” naungan adzan segera menghentikan tawa mereka. Irwan pun segera beranjak dari tempat duduknya menuju bak besar tempat wudlu para santri putra di pinggir kobong di ikuti sahabat-sahabatnya.
Jasadnya berdiri menghadap kiblat bersama seluruh santri dan para guru. Kepalanya tertunduk khusuk, hatinya menjerit ampunan kepada Allah SWT. Ia sadar akan semua yang baru saja ia lakukan, ia tak seharusnya begitu tergila-gila kepada sosok Sinta, dan tak perlu cemburu kepada Ega. Sejenak ia lupakan seorang Sinta dari pikirannya. Seusai salat ia berdo’a khusuk.
”ya Allah ampunilah dosa-dosaku, ampuni dosa-dosa kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sewaktu kecil. Dan aku mohon ampunilah seluruh orang yang menyayangiku dan aku sayangi. Amin!”
”Wan, mau ikut beres-beres bekas Tasyakuran tidak?” tanya Ziyan.
”ya,nanti aku nyusul!”
”ya sudah aku tunggu, aku duluan ya! Assalamu’alaikum!” tangan Ziyan menarik pintu menutupnya.
”iya, Wa’alaikumsalam!” sambil menaggalkan pakaiannya untuk di ganti.
Semua pekerjaan telah mereka selesaikan dengan rapih. Sehabis ashar semua santri berkumpul di kobongnya masing-masing. Ada sesuatu yang sedang mereka tunggu.
”Al-i’lan....semua santri di tunggu di bata kuning sekarang...!” teriak Rahman di lorong depan kobong yang menuju aula Qodim.
”asyik....PGS...!” serentak seluruh santri berteriak. Kaki mereka melangkah dengan cepat.
”kang di bagi PGS?” tanya seorang santri kelas tujuh MTs. Langkahnya terhenti menunggu jawaban.
”iya, cepat sana! Nanti kamu tidak kebagian” jawab Rahman menyemangati.
Peristiwa langka itu sangat mereka tunggu, peristiwa yang menurut mereka adalah saatnya untuk meningkatkan gizi. PGS, itulah sebutan para santri yang berarti Peningkatan Gizi Santri atas pemberian pak kiyai yang berupa makanan semisal nasi bungkus yang di dalamnya terdapat lauk yang sangat jarang mereka nikmati di pesantren. Sehari-hari mereka hanya makan dengan lauk seadanya, sayur mayur, atau paling elite juga telur. Hari itu mereka tahu bahwa mereka akan mendapat makanan enak. Tak ada satupun santri/yah yang pergi ke kantin untuk membeli makanan. Setiap ada acara besar semisal Tasyakuran pasti sesudahnya pak kiyai akan memanggil Rois/ah untuk pergi ke dapur mengambil nasi bungkus untuk dibagikan kepada seluruh santri dan santriyah.
Seluruh santri putera berkumpul di aula Qodim menikmati makanan yang baru saja mereka terima.
”enak euy...!” teriak beberapa santri.
”Alhamdulillah” jawab seorang santri kelas delapan MTs.
Pak kiyai tak pernah membiarkan santri/ahnya hanya menikmati acaranya saja, tapi setiap kali selesai acara besar pak kiyai pasti membagi nikmat itu dengan seluruh santri/yahnya. Ke murahan hati pak kiyai memang tidak perlu di ragukan lagi. Seluruh santri/yah dan warga sekitar begitu mengenal pak kiyai. Beliau sangat di hormati, di segani, dan juga sangat berwibawa. Pesantren Albidayah sangat terkenal terutama di kabupaten Bandung Barat tempat berdirinya. Sejak di dirikan dan di pimpin oleh Mama K.H. Asy’ari kemudian di lanjutkan oleh anaknya Mama K.H. Muhammad Siradj kemudian di lanjutkan oleh Mama K.H. Yayat Ruhiyat Siradj yang merupakan salah satu putera dari Mama K.H Muhammad Siradj. Pesantren Albidayah tidak pernah kehilangan pamornya. Jama’ah yang mengaji setiap Sabtu pagi dan malam sabtu kliwon di pesantren itu sangat banyak hingga mencapai kurang lebih dari tiga ribu orang. Makam Mama K.H Muhammad Siradj dan ayahnya K.H Asy’ari tidak pernah sepi dari para pejiyarah yang berdatangan dari berbagai daerah di sekitar pulau jawa. Mereka berdatangan mengharapkan keberkahan dari seorang kiyai yang ilmunya sangat tinggi, dan mereka bukan berdo’a kepada kuburan melainkan mereka bertawasul dan berdo’a kepada Allah dengan berharap keberkahan dari Allah SWT. Melalui para Ulama yang di percaya mewarisi para Nabi.
Bibirnya berbisik membacakan tawasul, tahlil, Surat Yaasin, Al-fatihah, Al-ikhlas, tahmid, dan Istighfar di ikuti beberapa baris do’a yang ia panjatkan kepada Allah SWT. Di samping makam para ulama yang telah menjadi gurunya. Irwan menangis mengingat setiap dosa yang telah ia lakukan. Rintikan air keluar dari matanya pertanda kekhusukannya.
Mentari pagi yang hangat membelai setiap jiwa yang rindu akan kehangatan. Seluruh santri/yah pagi itu sibuk membersihkan seluruh bagian pesantren. Mulai dari menyapu, ngepel, hingga merapikan semua yang terlihat berantakan. Setelah semua bersih, seperti biasa sebelum pulang meninggalkan pesantren para santri dan santriyah harus berkumpul di aula Qodim untuk mendengar pengumuman dari pembina OSPA . setelah beberapa pesan di sampaikan oleh pembina OSPA, buku izin pulang segera di bagikan oleh pengurus OSPA bidang administrasi kepada seluruh santri dan santriyah setelah pembina meninggalkan aula tersebut.
”awas nanti kembali kesininya jangan terlambat ya...!” pesan yang selalu di sampaikan Agis setiap membagikan buku izin pulang.
”insyaAllah kang!” jawab para santri setelah menerima buku yang berwarna kuning itu.
Irwan, Riyan, Yudi, Rafi, dan sebagian pengurus OSPA lainnya ikut ke dalam antriyan para santri yang akan pulang karena mereka termasuk ke dalam kloter ke dua. Setiap akan di laksanakan penerimaan santri dan santriyah baru, pengurus OSPA dan OSIS putera maupun puteri di kloter menjadi dua kloter. Kloter pertama yang menjaga di pesantren dan sekolah selama seminggu pertama jadual pulang. Dan setelah habis masa liburan dari kloter dua maka itu berarti saatnya kloter pertama menghabiskan masa liburannya.
Suasana mesjid terasa sangat sepi dan sunyi. Suara, nadzoman di mesjid tak seramai biasanya, hanya beberapa suara yang beradu bersenandung kidung-kidung suci pujian do’a kepada Allah dan Rasulnya ada yang hilang dari pesantren itu. Namun tak akan bertahan lama semua itu berlangsung, mungkin hanya sampai dua minggu saja. seruan suci yang berkumandang di mesjid Albidayah sore itu memanggil beberapa santri yang ada dan para warga sekitar untuk berjamaah. Beberapa Shaf di belakang imam yang biasanya terisi penuh mulai saat itu dan untuk dua minggu kedepan mungkin akan kosong tak terisi, hanya satu setengah Shaf yang terisi itupun setelah di tambah para warga sekitar pesantren.
Canada tawa di kobong delapan begitu terkesan sepi dan kurang ramai, hanya beberapa suara yang ikut meramaikan suasana itu.
”eh nu keur di arimah mah genah meureun nya?” celetuk Dendi
”heueuh teu jiga urang nya, urang di dieu euweuh dahareun-dahareun acan. Ngome artu weh!” sambung Ahmad.
”jangan syirik gitu ah, nanti juga kan kita giliran. Minggu yang akan datang kita yang giliran enak-enakan di rumah” Rahman menengahi.
”sok lah eta gera piceun kartu maneh!” Dadan mulai kesal.
Dengan penuh canda dan gelak tawa mereka melanjutkan main kartu walau Cuma iseng-iseng, dan yang kalah harus membersihkan kobong mereka sampai bersih.
Mentari malu-malu mengintip dari balik rerimbunan bukit yang tersungkur indah. Hangatnya meniupkan secercah harapan setiap jiwa. Linangan embun membasahi dedaunan hijau menitipkan kasih dan cinta. Bayang wajah itu hinggap di hatinya seperti kupu-kupu yang tak harus izin menyentuh sang bunga. Ia sungguh rindu akan sosok seorang Irwan yang telah nyata mencintainya sejak lama. Terlebih lagi ia sangat terenyuh saat ia melihat sorot mata Irwan mengikuti mobilnya saat ia pulang. Ada rasa cinta yang dalam pada sorot mata iu, ada keakutan yang menyksa pada sorot itu.
”sungguh aku juga mencintaimu, namun apalah dayaku? Aku hanya seorang wanita yang lemah yang tak mampu untuk memilih dan menyakiti. Aku sungguh mencintaimu, tapi aku juga sungguh menyayangi Ega yang telah banyak berkorban cinta untukku. Aku mengerti perasaanmu saat ini. Aku tahu kamu pasti merasakan resah yang kini aku rasakan atas kerinduan. Aku tahu hatimu sakit atas beban cinta yang kau pikul untukku. Rasa nyeri yang menggerogotimu sungguh kini juga telah ada di hatiku. Sesungguhnya siapakah yang harus aku persalahkan atas semua ini? Aku sungguh tak mengerti dengan jalan cinta yang kini ku lalui”. Lamunannya.
”Sinta...!” suara itu membuyarkan kebingungan di otaknya.
”iya teh, sebentar...!” kakinya melangkah mengikuti arah suara memanggil namanya.
”ini ada telpon dari Irwan...!” ungkap kakaknya.
Ada perasaan senang ketika ia mendengar kabar itu. Tapi?.
”hallo...Assalamu’alaikum...!” rintih suara itu menggetarkan hati Sinta yang sedang menyandarkan sebuah telepon ke telinganya.
”Wa’alaikum Salam!” desahnya menjawab.
”bagaimana kabarnya...? Sinta?” dengan tersendat nama itu ia panggil.
”Alhamdulillah baik...!” beberapa saat suasana menjadi sunyi. Tak ada keakraban antara keduanya.
”ya Alhamdulillah kalau begitu, ya sudah mungkin hanya itu saja yang mau saya katakan. Assalamu’alaikum” suara di telepon itu terputus begitu saja. Ada rasa sesal di hati keduanya. Ada banyak hal yang ingin mereka ungkapkan satu sama lain, namun akhirnya terlupakan. Entah apa yang membuat Irwan begitu berani untuk menelpon Sinta. Sungguh kerinduan telah membuatnya nekad untuk sekedar tahu keadaan Sinta dan selain itu ia ingin sekali mendengar suara lembut sinta. Tak ada seorangpun pujangga yang mampu menggambarkan keadaan hatinya yang kian bahagia dengan tinta-tinta termahal sekalipun di atas kertas seputih apapun. Hatiya bergelora, detak jantungnya sungguh tak terkendali, nafasnya ngos-ngosan, darahnya mengalir deras seperti derasnya gelora cinta yang kini bersarang di hatinya.
”apa kah suara itu benar-benar suara mu kang?. Apa ini adalah saat terakhir aku mendengar suaramu?. Apa tatapan itu tatapan terakhir yang kau berikan untukku?. Sungguh aku tidak sanggup andai memang aku tak mampu melihatmu lagi”.gumam Sinta yang masih termenung di atas ranjangnya.
”Sinta, kamu mau meneruskan sekolah di mana?”
”entahlah kak, mungkin terserah ayah dan ibu saja lah” jawabnya pasrah.
”kenapa erserah mereka?,kan kamu sendiri yang akan menjalaninya, jadi kamu harus menenukan dari sekarang kamu maunya dimana?”
”aku butuh waktu sendiri untuk memikirkannya teh”
”ya pikirkanlah yang terbaik untuk hidupmu. Ingat yang akan menjalankan hidup kamu, ya kamu sendiri bukan kakak, ayah, ataupun ibu” kakanya meninggalkan Sinta sendirian.


* * *

















Persahabatan untukku


Ramai gemuruh suara teriakan itu membelah kesunyian. Dekoran indah tampak layaknya dekorasi pesta besar menghiasi aula qodim yang biasanya tampak sederhana. Kini pesantren Albidayah kembali dengan suasana baru yang lebih menunjukan semangatnya. Ada harapan baru dari situ.
”Irwan, untuk hari ini kamu yang jadi pembawa acara Ta’aruf ya...!” pinta Rahman.
”tapi Man,aku...”
”ayolah...kamu kan kordinator acara!, kasihan tuh lihat anak-anak sudah ingin dimulai”
”iya tapi mungkin untuk acara siang aku tidak bisa”
”Ya sudah malam ini saja kan kalau Hasanah dan Rifah mungkin kurang tahu siapa-siapa saja yang jadi panitia ini dan itu,kamu juga kan sudah teruji beberapa kali menjadi pembawa acara dalam setiap kesempatan. Aku mengerti jika besok kamu tidak bisa, kamu juga kan punya tanggung jawab di acara MOS sebagai pembawa acara juga”
”iya terimakasih,sekarang aku ganti baju dulu ya! Kesian anak-anak sudah nunggu”
Irwan membuka acara dengan cukup baik. Ia mengajak seluruh peserta Ta’aruf menikmati acara dengan menyenangkan dan tidak membosankan. Acara malam itu berlangsung baik hingga usai, dan semua peserta maupun panitia Ta’aruf bubar dari acara malam itu dengan decak kagum dan senyum mengembang.
”terimakasih Wan, berkat kamu pembukaan acara ini berjalan sesuai rencana. Mungkin jika yang memulai acara ini orang lain tak kan sebaik ini” puji Hadi yang merupakan ketua panitia acara tersebut.
”ah kamu jangan terlalu berlebihan, siapa tahu orang lain lebih baik dari aku”
”iya deh terserah kamu, tapi sekali lagi terimaksih ya. Kamu adalah sahabat yang selalu bisa membantu”.
”Insyaallah. Mudah-mudahan” ia meninggalkan Hadi yang masih di aula. Ia ke kobongnya.
Pagi hari itu awal hari yang tak kalah melelahkan sepertinya. Seluruh panitia MOS pagi itu memulai membuka acarana, seperti yang telah di agendakan bahwa hari pertama MOS itu akan di adakan pembukaan, penyematan ID card, pemilihan kordinator peserta dan lain sebagainya. Dan seperti yang telah di rencanakan jauh sebelumnya bahwa pembawa acara MOS tersebut akan di bawakan oleh Irwan, Niken, Delia, dan Febry yang akan di laksanakan secara bergiliran. Hampir setengah acara yang di agendakan hari itu telah selesai di lakukan, tiba-tiba ada seseorang di antara siswa/i baru itu yang baru membuatnya sadar bahwa Irwan mengenalnya, dan seketika Irwan terdiam di panggung itu tak melanjutkan apa yang seharusnya ia katakan. Tapi beruntunglah Irwan karena di situ ada Niken yang membantunya dari kegagalan memandu acara itu.
”Irwan tadi kamu kenapa?”
”tidak apa-apa kok Nik, aku hanya lupa saja” kilahnya.
”ah tapi masak kamu lupa apa yang harus kamu ucapkan, aku kenal kamu sudah dua tahun, dan kamu adalah salah satu MC yang cukup baik di pesantren maupun di sekolah ini.” jelasnya dengan penasaran.
”sungguh tidak apa-apa!”
”tapi aku yakin ada sesuatu denganmu. Apa kamu sudah tidak percaya kepadaku?.Ceritakanlah kepadaku apa masalahmu, aku ini kan sahabatmu sejak dulu meskipun persahabatan kita sempat renggang karena sikap aku yang terlampau memalukan bagi kalian” ungkapnya penuh rasa bersalah.
”bukannya aku tidak percaya tapi aku butuh waktu untuk sendiri. Biarlah aku yang selesaikan”
”ya sudah kalau begitu, aku pergi ya!. Tapi jika kamu butuh aku, aku siap kapanpun sebagai sahabatmu” Niken meninggalkan Irwan menuju Febri dan Delia yang sejak tadi asyik di panggung menghibur para peserta.
Irwan begitu bahagia dengan apa yang barusaja ia lihat di antara sekumpulan peserta MOS. Tapi ada perasaan bingung bergelayut di pikirannya, ia sungguh merasa bahwa dirinya sudah gila. Apa pun yang dia lihat selalu saja ada Sinta. Kerinduan yang kian membuncah membuatnya tak bisa berkonsentrasi pada apa yang sedang ia lakukan, apa yang ia pikirkan hanya Sinta, Sinta, dan Sinta.
”ya Allah mengapa selalu ada Sinta di otakku, di mataku, di bayanganku, di semua gerak langkahku?” bisik Irwan sambil menyjambak rambutnya sendiri.
”Wan, yang kamu lihat tadi bukan bayangan Sinta, bukan Hantunya Sinta, tapi itu adalah kenyataan. Kamu tidak gila, kamu masih sehat, yang tadi kamu lihat benar-benar Sinta” Yudi membuyarkan kebingungan Irwan yang sejak tadi terlihat kian bingung di mata Yudi. Namun tak terlontar sedikitpun kata tanggapan dari mulut Irwan, ia hanya mengkerutkan keningnya pertanda ragu dan tak percaya pada pernyataan yang Yudi ucapkan.
”Wan, sungguh aku tidak bohong!, yang tadi kamu lihat memang benar-benar Sinta. Kalau kamu masih tidak percaya ayo ikut aku!” Yudi mengerti atas ketidak percayaan Irwan kepadanya. Ia menarik tangan Irwan yang sejak tadi duduk di kursi panitia menuju ke tempat para peserta MOS.
”lihat...! itu nyata...!” setengah membentak.
”Astaghfirullah...!” suara Irwan lirih. sambil mengucek-ngucek kedua matanya ia meyakinkan apa yang sedang ia lihat.
Akhirnya keduanya melangkah ke sebuah ruangan yang biasa di sebut ruang OSIS. Di ruangan itu hanya ada Irwan, Yudi, dan Rifah. Yudi berusaha mengerti apa yang sedang terjadipada sahaatnya,ia perlahan menjelaskan bahwa Sinta memang melanjutkan sekolah disekolah itu.
”jika kamu masih kurang percaya, tanya Rifah sekarang!”
”rifah apa benar Sinta melanjutkan sekolahnya di sekolah kita ini?” tanya Irwan meyakinkan pernyataan Yudi.
”O,memangnya kamu belum tau? Sinta kan memang melanjutkan di sekolah ini!”
”Alhamdulillah!, berarti aku tidak sedang berkhayal, ini nyata...nyata...!” Irwan bahagia, tanpa sadar ia peluk sahabatnya dengan erat.
Ketiganya tertawa senang, apalagi Irwan. Ia begitu senang karena ternyata ia bukan sedang berkhayal. Ada serpihan harapan yang kembali menyusup kedalam hatinya, ada getaran yang sama saat pertama ia merasakan jatuh cinta kepada Sinta. Begitupun dengan Yudi dan Rifah yang begitu senang melihat kebahagiaan yang sedang di rasakan Irwan.
Di bawah langit kegelapan Sinta sendiri termenung sambil memandangi langit yang begitu gelap tak berbintang. Ia menatap langit dalam-dalam. Bibir mungilnya bertasbih, Ia begitu kagum dengan ciptaan Allah SWT. Yang menciptakan langit dan bumi beserta keindahannya.
”Sinta, kenapa kamu masih di luar?, ini kan sudah hampir jam dua belas” Suara April yang muncul dari belakang Sinta.
”aku belum ngantuk Pril, lalu kenapa kamu juga belum tidur?” sinta balik bertanya.
”aku bingung Sin, aku tidak bisa tidur”
”Bingung kenapa?, ceritakan lah kepadaku mungkin aku bisa membantu”
”sebelum aku sekolah kesini lagi, ayah dan ibuku memberikan aku pilihan yang tak mungkin aku pilih sekarang. Mereka menyuruh aku untuk segera menikah, menikah dengan orang yang sungguh tidak pernah aku kenal. Lelaki yang usianya jauh di atas usia ku sekarang ini yang baru enam belas tahun, sedangkan umur lelaki yang akan menikahi aku lebih tua dari umur ayahku sendiri. Entah apa alasan ayah dan ibuku menyuruh aku untuk segera menikah, dan kenapa calonnya justru orang yang sangat tua. Apakah kedua orang tuaku menjual aku ya?, sungguh aku tidak tahu apa alasan mereka, setiap kali aku bertanya tentang hal itu mereka selalu menjawab ini untuk kebaikan kamu juga di masa yang akan datang!”
”jannganlah kamu bersu’udzon dulu kepada mereka, siapa tahu memang mereka melakukan itu hanya untuk kebahagiaan kamu semata”
”tapi Sin, kalau meereka benar-benar memikirkan kebahagiaanku kenapa mereka mau menikahkan aku di usia aku yang belumlah cukup ini. aku sangat kecewa dengan semua ini. masih untung sekarang aku bisa melanjutkan sekolah lagi di sini. Karena orang tuaku juga tidak mengijinkan aku sekolah lagi jika tidak di sekolah ini. aku makin curiga dengan keputusan mereka ini meskipun aku senang bisa sekolah di sini lagi bersamamu, tapi yang aku kecewa kenapa mereka tidak memperbolehkan aku sekolah di sekolah yang lain meskipun sama sambil mesantren”.
”ya kalau begitu ceritanya aku juga kurang mebngerti. Tapi yang jelas aku yakin itu semua mereka lakukan untuk kebaikan mu juga Pril. Eh besok kan kita masih MOS, yuk ah tidur! Jangan sampai kita kesiangan dan mengantuk saat acara MOS berlangsung”.
Perbincangan mereka di teras kobong itu membawa mereka hingga jam dua dini hari. Mereka tidur sejenak dan kemudian mereka harus terbangunkembali jam empat nanti untuk berjamaah salat tahajud, membaca surat Al-Waqi’ah dan berjamaah salat subuh.
* * *
”Wan,ini ada titipan buat kamu...!”
”Fabian, ini dari siapa?” tangannya memegang sepucuk Surat yang di berikan Fabian kepadanya.
”ah, baca saja lah nanti juga kamu tau Wan apa maksudnya dan siapa pengirimnya...!”
”tapi Bi....”
”ah sudahlah baca dulu, baru komentar”
”itu apa Wan, surat ya?” tanya Riyan setengah meledek.
”sepertinya begitu, aku juga tidak tahu”
”ah kau ini pura-pura tidak tahu”. Ledek Riyan kembali.
”eh iya, aku jadi keingetan. Kemarin Sindi anak kelas sebelas IPS salam tuh buat kamu Wan” sambung Rahman.
”duh si Irwan lagi laris euy...hahaha!” cekikikan Yudi ikut meledek.
”ah,kalian ini apa-apaan sih?. Gak apa-apa dong aku banyak yang suka. Kalian syirik aja”.
Irwan makin terpojok oleh sahaba-sahabatnya. Mereka terus membuat Irwan merasa malu karenanya, dan tak bisa menampik Irwan pun mulai berwajah merah. Malu. Kelas itu menjadi ramai karena suara teman-teman Irwan yang sejak tadi membicarakan Irwan yang sudah mulai melirik santriyah lain, dan mendapat banyak salam dari santriyah adik kelasnya.
Pengajian baru saja di sudahi. Malam itu pak kiyai yang mengajar ngaji. Pak kiyai mengajarkan betapa pentingnya silaturahmi antar sesama manusia. ” Silaturahmi artinya menyambung tali persaudaraan. Betapa pentingnya arti hubungan silaturahmi dalam kehidupan umat beragama baik dengan sesama muslim maupun dengan sesama manusia. Hal ini karena menyambung silaturahmi erpengaruh terhadap rizky yang akan kita dapat yang merupakan bekal hidup di dunia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Selain itu, orang yang selalu menyambung tali silaturahmi akan di panjangkan usianya dalam arti akan di kenang selamanya.
Orang yang selalu bersilaturahmi tentunya akan memiliki banyak teman, saudara, dan relasi. Sedangkan relasi adalah merupakan salah satu faktor pendukung yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam berusaha mencari rizky. Selain itu dengan banyak teman akan memperbanyak saudara dan berarti pula telah berusaha meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT. Hal ini karena ia telah melaksanakan salah satu perintah-Nya, Allah SWT. Akan memberikan rizky dan jalan keluar dalam setiap urusannya. Allah SWT. Berfirman dalam Al-Qur’an surat Ath-tholaq ayat dua dan tiga yang Artinya “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah SWT., niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada di sangka-sangka.”
Seorang mukmin yang ingin mendapatkan Ridho dari Allah SWT. Maka ia harus berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang di Ridhoi-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya sendiri. Islam sangat menganjurkan untuk hidup penuh persaudaraan. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keiman dan bukan hal-hal yang lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang suci dan abadi seabadi imannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, persaudaraan yang di dasari Lillahi Ta’ala. Sebagaimana yang di terangkan dalam banyak hadits dan ayat-ayat suci Al-Qur’an.” begitu jelas pak kiyai dalam pengajiannya yang di ikuti oleh seluruh kelas dua belas sesudah isya yang baru saja usai.
Dalam kebingungan dan tak berbuat apa-apa tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang di berikan Fabian tadi pagi di sekolah sebelum masuk. Ia segera menghampiri lemarinya, dan ia raih tasnya. Kemudian di dalam tas ia menemukan sebuah amplop berwarna putih polos yang di berikan Fabian sebagai titipan dari seseorang untuk dirinya, ada rasa penasaran yang menjalar. Perlahan ia duduk di lantai kobongnya yang sedikit berantakkan, sambil sedikit membetulkan posisi duduknya kemudian ia buka perlahan penutup amplop itu dan ia buka perlahan lipatan kertas yang terbungkus amplop itu. Lirih suaranya membaca setiap bait yang tertulis.

Hari yang cerah di Albidayah.
Teruntuk kakak yang baik

Assalamu’alaikum Wr.Wb!
Kang sungguh saya sangat takut untuk memulai ini semua. Ketika saya mengambil sebuah pulpen dan secarik kertas ini ada perasaan rindu yang menjalar di hatiku untukmu kang, ada perasaan yang entah apa namanya, aku tak berani menterjemaahkannya terlalu jauh. Mungkin akang yang lebih tau atas apa yang aku rasakan ini bisa di terjemaahkan sebagai apa?.
Sungguh aku merasa takut atas apa yang aku rasakan ini kang, mungkin akang masih ingat dengan peristiwa satu tahun lalu saat saya masih kelas sepuluh. Saat itu hampir seluruh kelas sepuluh mendapatkan hukuman dari pihak pesantren atas perasaan mereka yang menyayangi lawan jenisnya. Waktu itu saya sungguh takut, dan saya pernah berjanji untuk tidak menyayangi siapapun santri putera selama masih di pesantren ini. Tapi ternyata Allah berkehendak lain atas hati saya kang, akhirnya Allah menganugerahi saya rasa sayang kepada akang, sungguh mungkin ini memang tak pantas saya utarakan kepada akang, terlebih akang adalah salah satu dari pengurus OSPA yang seharusnya memang tidak melakukan hal seperti ini.
Kang, entah sejak kapan saya mulai merasakan perasaan sayang ini. Tapi yang jelas sejak akang menjawab salam yang saya titipkan lewat teh Rina sebulan lalu itu membuat hati saya bergetar hebat, dan mungkin saat itu juga saya merasakan sayang kepada akang. Ada kerinduan yang menjalar di hati saya saat sehari saja saya tidak melihat akang di sekolah.
Kang sekali lagi saya minta maaf atas kelancangan saya. Tak sepantasnya saya menulis surat ini untuk akang. Begitu hebat rasa takut yang saya alami saat saya menulis surat ini, takut bila nanti kita akan di takjir, takut akang sudah memiliki orang lain, takut akang salah sangka, dan takut akang malah akan membenci saya. Tapi rasa sayang yang saya rasa saat ini lah yang mampu mendorong saya untuk mengatakan ini kepada akang. Rasa rindu yang kian menyesak di dada memaksa saya untuk segera mengatakan perasaan sayang ini.
Kang, mungkin itu saja yang ingin saya katakan kepada akang, tapi sungguh hati ini terpogoh untuk memulai semua ini. mohon akang mengerti akan apa yang sedang saya rasakan. saya tidak perlu memiliki akang tapi saya hanya ingin akang tahu saja tentang perasaanku kepada akang yang sesungguhnya.

orang yang selalu menyayangimu
Nuraini.

ada perasaan bahagia di hati Irwan setelah membaca uraian surat tadi. namun tak lama kemudian hatinya mulai bimbang tentang perasaannya, ini yang ia takutkan. semula ia hanya ingin menganggap Nuraini sebagai adik saja, tapi ternyata ketakutannya akan perasaan berbeda yang di rasakan Nuraini ternyata terjadi juga. sesekali Irwan beristighfar. entah apa yang harus ia lakukan, ia sungguh bingung dengan perasaan hatinya saat itu. memang ada setitik getaran cinta untuk seorang Nuraini, tapi ia selalu berusaha menafikannya karena ia tak mau terjebak kedalam dua hati wanita yang suatu hari nanti mungkin akan ada yang tersakiti. Irwan merasa lelah malam itu, terlebih lagi ia sedang berada dalam kebimbangan seesudah mengetahui isi hati Nuraini yang sesungguhnya untuk dirinya. akhirnya ia terlelap begitu saja setelah membaca, dan menyimpan kembali surat tadi.


***


ada apa dengan hatiku